
Makassar – Humas.
Temu konsultasi antara Pengurus
Wilayah Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (PW APRI) Sulawesi Selatan dengan
Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Sulawesi Selatan berlangsung pada hari ini,
Rabu (17/09/2025), di Makassar.
Ketua PW APRI Sulsel, Abd. Rahman,
bersama delapan pengurus wilayah hadir dalam pertemuan tersebut, yaitu: Andi
Irwan (Ketua I), Ahmad Jazil (Sekretaris Wilayah), Armin (Sekretaris II), Idham
Rusdi (Bendahara Umum), Jumahidi (Bendahara I), Al-Sadar (Kabid Keanggotaan),
Aldam Rajab (Kabid Hukum), dan Abd. Rauf (Kabid Karya Ilmiah).
Dalam dialognya, Abd. Rahman
memaparkan maksud dan tujuan temu konsultasi ini, yaitu membahas Program
Gerakan Sadar Pencatatan Nikah (GASPEN) yang berlandaskan Surat Edaran
Nomor 6 Tahun 2025. PW APRI Sulsel meminta arahan dari Ketua PTA Sulsel
terkait tata cara pendampingan di Pengadilan Agama, khususnya mengenai proses
isbat nikah bagi pasangan suami istri yang belum memiliki buku nikah.
Ketua PTA Sulsel, Drs. H.
Khairin, M.H., menyambut hangat rombongan PW APRI Sulsel. Rombongan
diterima di ruang kerja beliau sebelum diarahkan untuk melanjutkan konsultasi
di ruang rapat pimpinan PTA Sulsel.
Dalam kesempatan tersebut, Khairin
berbagi pandangan terkait dinamika hukum keluarga, salah satunya mengenai
perubahan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19
tahun. Perubahan ini, menurutnya, menimbulkan tantangan baru, terutama terkait
dengan meningkatnya permohonan dispensasi nikah yang setiap bulan dimonitor oleh
Pengadilan Agama.
Khairin menegaskan pentingnya
perlindungan hukum bagi pasangan suami istri yang belum memiliki buku nikah.
Menurutnya, solusi yang bisa ditempuh adalah keterlibatan pemerintah daerah
dalam menyiapkan anggaran untuk membantu masyarakat mengajukan isbat nikah di
Pengadilan Agama.
Lebih lanjut, ia juga menyinggung
persoalan perkawinan serial (perkawinan kedua dan seterusnya) yang tidak
tercatat. Ia menegaskan bahwa perkawinan serial tidak bisa diisbatkan, meskipun
dengan alasan kepentingan anak. Dalam kasus seperti itu, solusi yang dapat
diberikan adalah melalui putusan asal-usul anak, di mana anak berhak
mendapatkan wasiat wajibah maksimal sepertiga harta, sementara istri dalam
perkawinan serial tidak memperoleh hak tersebut.
Khairin juga menekankan bahwa
perkawinan yang tidak tercatat akan kehilangan perlindungan hukum negara, baik
terkait kedudukan harta maupun kewarisan. Ia menambahkan, dalam hal rujuk pasca
perceraian, harus ada akta rujuk yang diterbitkan KUA tempat pasangan
menikah sebelumnya dan dilaporkan ke Pengadilan Agama.
“Banyaknya perkawinan di bawah tangan terjadi
karena tidak ada sanksi hukum yang jelas terhadap pelakunya, dan inilah salah
satu kelemahan dalam Undang-Undang Perkawinan,” pungkas Khairin. (arm)