Menggali Sisi Gelap Manusia: Kasus Agus Buntung dalam Perspektif
Akhlak dan Kepribadian
Oleh : (H. Kasbolah, M.Pd.)
Kasus dugaan pelecehan seksual yang
melibatkan IWAS alias Agus Buntung, seorang penyandang disabilitas, mengguncang
hati masyarakat. Betapa tidak, di balik keterbatasan fisiknya, Agus diduga
melakukan tindakan yang mencederai norma kemanusiaan hingga jumlah korbannya
mencapai 15 orang, termasuk anak di bawah umur. Sorotan terhadap kasus ini
tidak hanya datang dari aspek hukum, tetapi juga dari sudut pandang etika dan
akhlak, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dalam
karya monumental Makarimul Akhlak.
Empat Gambaran Manusia: Mengaitkan
Konsep Akhlak dan Perilaku
Dalam Makarimul Akhlak, Syaikh
al-Utsaimin membagi manusia menjadi empat kelompok berdasarkan perpaduan antara
suroh dohiroh (fisik) dan suroh batinah (akhlak):
1. Fisik baik, akhlak baik: Contoh
tertinggi adalah Nabi Muhammad SAW, yang sempurna secara fisik dan batin.
Keindahan jasmani dan rohani beliau adalah teladan bagi umat manusia.
2. Fisik baik, akhlak buruk: Sosok
seperti Abu Lahab, meski memiliki paras yang menawan, dikenal sebagai
penghalang dakwah Rasulullah.
3. Fisik buruk, akhlak baik:
Misalnya, Bilal bin Rabah. Walaupun penampilannya sering diremehkan pada
zamannya, beliau adalah pribadi yang penuh ketulusan dan iman.
4. Fisik buruk, akhlak buruk: Contoh
yang sering disebut adalah Abu Jahal, yang membawa kerusakan lahir dan
batin.
Jika diletakkan dalam konteks ini,
kasus Agus Buntung menggambarkan potret manusia yang fisiknya terbatas, tetapi
akhlaknya dipandang buruk. Hal ini tentu membuka diskusi mendalam: apakah
keterbatasan fisik bisa menjadi alasan pembenaran perilaku yang tidak
bermoral?
Menyoal "Keterbatasan" dan
Akhlak dalam Perspektif Islam
Islam mengajarkan bahwa akhlak
adalah cerminan hakiki dari nilai seseorang. Dalam kasus Agus, ada paradoks
yang menyayat hati: keterbatasan fisik yang seharusnya menjadi pengingat untuk
rendah hati justru menjadi latar belakang dugaan manipulasi dan grooming
terhadap korban. Dalam hal ini, agama memandang bahwa setiap manusia, terlepas
dari keadaan fisiknya, tetap memiliki tanggung jawab moral.
“Allah tidak melihat rupa dan
harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim).
Ayat ini menegaskan bahwa kecantikan
fisik atau keterbatasan jasmani bukanlah ukuran utama manusia. Justru akhlaklah
yang menjadi penentu nilai sejati seseorang.
Refleksi untuk Masyarakat:
Mengembalikan Akhlak sebagai Pilar Utama
Kasus ini menjadi pengingat penting
bahwa pembangunan karakter dan akhlak harus menjadi prioritas dalam setiap komunitas.
Pendidikan akhlak sejak dini, pendampingan psikologis, serta penguatan
nilai-nilai keagamaan dapat menjadi benteng dari perilaku menyimpang.
Sebagaimana Syaikh al-Utsaimin
menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia dengan kesempurnaan lahir dan
batin, masyarakat pun harus berupaya mendekati ideal ini: menjadikan akhlak
sebagai inti kehidupan. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan gambaran
manusia yang "buruk secara lahir dan batin" merebak di sekitar kita.
Kesimpulan
Kasus Agus Buntung bukan sekadar
soal pelanggaran hukum, tetapi juga gambaran betapa pentingnya akhlak dalam
kehidupan manusia. Fisik hanyalah cangkang; akhlak adalah jiwa yang
menghidupinya. Kita sebagai masyarakat harus berkomitmen menjadikan akhlak sebagai
fokus utama pendidikan, pendampingan, dan pembentukan karakter. Dengan begitu,
kasus serupa tidak lagi mencemari wajah kemanusiaan kita.