Binjai, (Humas). Di sebuah ruang sederhana di Panti Jompo Kota Binjai, suasana pagi itu tidak seperti biasanya. Tak ada suara televisi atau obrolan santai yang ramai. Yang terdengar hanyalah lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dibaca dengan lirih, namun penuh ketulusan. Suara-suara renta itu mencoba melafalkan huruf demi huruf dengan tajwid yang benar, meski harus mengulang berkali-kali.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program penyuluhan Tahsin Al-Qur’an yang digagas oleh Penyuluh Agama Islam (PAI) KUA Kecamatan Binjai Timur sejak tahun 2024. Setiap hari Rabu, penyuluh agama datang membimbing para lansia memperbaiki bacaan Al-Qur’an mereka. Di antara mereka, Salim Fakhri, S.HI, menjadi salah satu sosok yang dengan penuh kesabaran mendampingi para lansia melewati proses pembelajaran yang tidak mudah.
Membimbing lansia bukan tanpa tantangan. Menurut Salim, usia senja membawa keterbatasan tersendiri—baik dari segi pendengaran, penglihatan, maupun daya ingat. “Kadang mereka lupa huruf yang baru saja diajarkan. Kadang harus diulang sampai lima, enam kali. Tapi justru dari situlah letak keharuannya—mereka tetap semangat, tetap ingin bisa,” ujar Salim dengan mata berkaca, Rabu (1/10/2025).
Ada kalanya, rasa frustasi menyelimuti suasana. Beberapa lansia merasa malu atau takut salah saat membaca di depan teman-temannya. Namun, dengan pendekatan yang ramah dan metode pengajaran yang interaktif, suasana kelas tahsin perlahan menjadi tempat yang nyaman, bahkan menyenangkan.
“Kesulitan mereka adalah ujian kesabaran bagi kami. Tapi senyum bahagia mereka setelah bisa membaca satu ayat dengan benar—itu tidak tergantikan,” tambah Salim.
Di antara para peserta ada sosok Nenek Yolanda (72) yang menjadi inspirasi. Meski tubuhnya renta dan suara mulai melemah, semangatnya membara. Setiap Hari Rabu, ia datang lebih awal, duduk di barisan depan, dan mengikuti arahan penyuluh dengan antusias.
“Walaupun saya sudah tua, saya ingin bacaan Al-Qur’an saya lebih baik. Kalau saya menghadap Allah nanti, saya ingin membawa bacaan yang indah,” ucap Yolanda dengan mata berkaca, suaranya bergetar menahan haru.
Kesungguhan Nenek Yolanda memotivasi peserta lainnya. Ia tak segan mengulang-ulang satu ayat yang sama, bahkan meminta bimbingan tambahan seusai kelas. Ketika ia akhirnya mampu membaca dengan tajwid yang benar, ruangan kelas tahsin seolah dipenuhi rasa haru dan kebanggaan.
Bagi para penyuluh, program tahsin ini lebih dari sekadar tugas atau kegiatan rutin. Ini adalah misi kemanusiaan dan dakwah. “Kami tidak hanya mengajarkan huruf dan makhraj, tapi juga menghadirkan ketenangan batin bagi mereka. Banyak yang bilang setelah ikut kelas ini, mereka lebih tenang, lebih damai,” ujar salah satu penyuluh.
Suasana religius yang tercipta dari kegiatan ini membawa dampak positif. Para lansia terlihat lebih ceria, lebih aktif secara sosial, dan merasa dihargai. Doa bersama yang selalu menutup kegiatan menjadi momen syahdu yang menyatukan hati.
Melihat dampak positif dari kegiatan ini, para penyuluh berharap program tahsin ini dapat diperluas dan didukung lebih banyak pihak. “Kami ingin kegiatan ini tidak hanya berlangsung di satu panti jompo, tapi juga di tempat-tempat lain. Mungkin ke depannya bisa melibatkan relawan muda, atau dukungan fasilitas seperti mushaf besar untuk lansia yang sulit melihat,” ungkap Salim.
Ia juga berharap ada dukungan dari pemerintah daerah maupun lembaga keagamaan untuk menjadikan program semacam ini sebagai bagian dari gerakan nasional mencerdaskan spiritual lansia. “Karena siapa pun kita, berapa pun usia kita, kita tetap butuh dekat dengan firman Allah,” pungkasnya.
Di balik usia yang renta dan langkah yang mulai pelan, para lansia di Panti Jompo Binjai menunjukkan bahwa semangat belajar tak pernah padam. Al-Qur’an menjadi cahaya yang menerangi hari-hari mereka, menjadi teman setia di masa senja. Dan di sana, di sudut kota kecil, para penyuluh agama terus menyalakan lentera harapan—satu huruf, satu ayat, satu jiwa dalam bimbingan kasih-Nya.