Tanpa Cinta, Musyawarah, Tolong-Menolong, dan Memaafkan: Rumah Tangga Akan Ke Mana?
(Oleh Khoirul Anam, S.TH, di sampaikan saat memberi nasehat pernikahan di Desa Betensari Kecamatan Jabung 06 Juni 2025)
Pernikahan sejatinya bukan hanya prosesi ijab kabul dan pencatatan administratif. Ia adalah pertemuan dua insan, dua watak, dua kebiasaan, dan dua dunia, yang hendak menyatu dalam tujuan yang sama: membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Tapi benarkah semua rumah tangga bisa sampai ke titik itu?
Pertanyaan ini penting kita ajukan di tengah meningkatnya angka perceraian di Indonesia. Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 516.000 kasus perceraian terjadi hanya dalam satu tahun. Angka ini tidak hanya mengkhawatirkan, tetapi juga menggambarkan ada yang retak dalam fondasi keluarga kita.
Lalu, apa yang sebenarnya menjadi masalah?
Jika kita telisik lebih dalam, sebagian besar perceraian bukanlah akibat dari satu kejadian besar, melainkan runtuhnya empat nilai utama dalam pernikahan: tahabub (saling mencintai), tasyawur (musyawarah), ta’awun (saling tolong-menolong), dan ta’afwu (saling memaafkan).
Tanpa cinta, pasangan menjadi asing di bawah atap yang sama. Rumah tidak lagi menjadi tempat pulang, tetapi hanya tempat singgah. Tanpa komunikasi yang sehat, setiap perbedaan menjadi potensi konflik. Tanpa kerja sama, beban rumah tangga menjadi timpang. Dan tanpa pemaafan, luka-luka kecil menumpuk menjadi dendam yang merusak.
Laporan tahunan dari Mahkamah Agung RI (2023) mencatat bahwa penyebab perceraian tertinggi adalah pertengkaran terus-menerus (23,6%), disusul oleh tidak adanya keharmonisan (17%) dan masalah tanggung jawab rumah tangga (11%). Semua ini pada dasarnya adalah refleksi dari hilangnya empat nilai tadi.
Dalam Islam, tahabub adalah napas dari ikatan suci pernikahan. Al-Qur’an menyebutkan dalam QS. Ar-Rum ayat 21 bahwa Allah menciptakan pasangan agar manusia mendapatkan ketenangan jiwa, dan dijadikan-Nya di antara mereka rasa kasih dan sayang. Tanpa tahabub, cinta hanya menjadi formalitas yang rapuh.
Tasyawur, atau musyawarah, menjadi dasar dari segala bentuk penyelesaian konflik. Suami dan istri bukan kompetitor, melainkan mitra yang harus mendengarkan satu sama lain. Sayangnya, komunikasi sering kali menjadi titik lemah. Banyak yang saling berbicara, tetapi tidak saling mendengarkan.
Ta’awun adalah ruh kerja sama. Dalam rumah tangga, beban kehidupan tidak bisa dipikul sendiri. Perlu kehadiran, bantuan, dan empati satu sama lain. Ketika salah satu pihak merasa sendiri dalam mengurus anak, ekonomi, atau pekerjaan rumah, maka retaknya kepercayaan hanya tinggal menunggu waktu.
Dan yang tak kalah penting, ta’afwu—saling memaafkan. Pernikahan bukan tentang menyatukan dua insan yang sempurna, melainkan tentang dua insan yang saling belajar memaafkan ketidaksempurnaan. Ketiadaan maaf adalah jalan cepat menuju perpisahan.
Pertanyaannya kini menjadi jelas: apakah rumah tangga yang kehilangan empat nilai itu masih bisa bertahan? Jawaban yang jujur adalah: sangat kecil kemungkinannya. Dan bila dibiarkan, pernikahan seperti itu akan berakhir bukan di pelaminan kedua, tetapi di pengadilan agama.
Untuk itu, kita perlu membangun kembali rumah tangga dengan fondasi spiritual dan sosial yang kokoh. Pembinaan pranikah dan pascanikah harus diperkuat. Penyuluh agama dan tokoh masyarakat perlu lebih dilibatkan dalam memberi bimbingan nilai-nilai ini secara konsisten.
Karena sejatinya, rumah tangga yang sehat bukan rumah yang bebas masalah. Tapi rumah yang mampu mengelola masalah dengan cinta, komunikasi, kerja sama, dan pemaafan.
Semoga rumah tangga kita bukan hanya bertahan di atas kertas, tapi juga kuat dalam kenyataan, 'dengan semangat dan penuh meyakinkan bahwa dengan modal 4T atau 4triliyun sembari bercanda maka rumah tangga SAMARA nampak jelas terang benderang hilalnya'. tutup MKA.