oleh : (H. Kasbolah, M.Pd.
Penghulu KUA Sekampung
Udik Kabupaten Lampung Timur)
Pendahuluan
Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi, terutama media sosial,
telah berkontribusi signifikan terhadap meningkatnya gaya hidup hedonis di
kalangan masyarakat. Fenomena ini ditandai dengan orientasi yang kuat pada
kenikmatan pribadi, konsumsi berlebihan, dan penekanan pada status sosial yang
diukur dari kepemilikan materi. Akibatnya, nilai-nilai intrinsik seperti kepuasan
batin dan hubungan sosial yang berkualitas cenderung termarginalkan.
Situasi ini
menciptakan ketimpangan yang semakin parah, di mana nilai-nilai spiritual dan
sosial terpinggirkan. Prioritas yang terpusat pada materi telah merusak tatanan
sosial dan menyebabkan berbagai masalah, mulai dari meningkatnya kasus
kesehatan mental hingga melemahnya ikatan sosial
Penyebab Hedonisme
Fenomena
hedonisme tidak muncul begitu saja, melainkan dipicu oleh berbagai faktor yang
saling berkaitan. Salah satu faktor utama adalah perkembangan teknologi dan
akses mudah terhadap informasi serta hiburan. Melalui media sosial, seseorang
dapat dengan cepat melihat gaya hidup orang lain yang tampak sempurna, sehingga
muncul dorongan untuk meniru dan merasakan kenikmatan yang sama.
Selain itu,
kapitalisme modern mendorong masyarakat untuk terus-menerus mengonsumsi barang
dan jasa, menciptakan kebutuhan yang sebenarnya tidak esensial. Industri
periklanan juga memainkan peran penting dalam membentuk pola pikir konsumen
dengan menawarkan produk yang dianggap mampu memberikan kepuasan dan
kebahagiaan instan. Budaya "fomo" (fear of missing out) atau rasa
takut tertinggal tren juga berkontribusi dalam mendorong masyarakat untuk terus
mengejar kesenangan tanpa henti.
Pandangan
Al-Qur'an terhadap Hedonisme
Islam mengajarkan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, serta
memperingatkan agar manusia tidak terjebak dalam keinginan duniawi yang berlebihan.
Dalam Surah
Al-Hadid (57:20), Allah SWT berfirman:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا
لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى
الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ
ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ
عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌۗ وَمَا الْحَيٰوةُ
الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
"Ketahuilah
bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan, saling
berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak
keturunan..."
Ayat ini
mengajak kita untuk bijak dalam memilih prioritas hidup. Kehidupan dunia yang
penuh dengan godaan materi dan kenikmatan sesaat haruslah ditempatkan pada
porsinya. Ibnu Katsir mengingatkan kita bahwa dunia ini hanyalah perhiasan
sementara. Dengan memahami hal ini, kita dapat menghindari terjebak dalam
kesia-siaan dan fokus pada tujuan yang lebih hakiki.
Selain itu,
dalam Surah
At-Takathur (102:1-2), Allah berfirman:
حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗاَلْهٰىكُمُ
التَّكَاثُرُۙ
"Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur."
Ayat ini menegaskan bahwa perlombaan dalam hal materi dan kesenangan duniawi
hanya akan melalaikan manusia hingga akhirnya mereka dihadapkan pada kematian,
di mana semua hal tersebut tidak akan lagi bermanfaat. Tafsir ayat ini juga
menekankan agar manusia tidak terjerumus dalam kecintaan terhadap hal-hal
duniawi, karena itu hanya akan menjauhkan mereka dari pencarian makna hidup
yang lebih mendalam.
Pandangan
Sosiolog terhadap Hedonisme
Dalam analisis sosiologis, hedonisme dapat diinterpretasikan sebagai respons
adaptif terhadap tekanan sosial dan ekonomi kontemporer. Thorstein Veblen,
dalam karyanya, mengidentifikasi fenomena "konsumsi mencolok" sebagai
dorongan utama di balik perilaku konsumtif berlebihan. Individu sering kali
menggunakan konsumsi sebagai alat untuk mendefinisikan dan memperkuat status
sosial mereka.
sedangkan, Jean
Baudrillard, seorang filsuf dan sosiolog Perancis, mengemukkan
bahwa masyarakat modern telah berubah menjadi "masyarakat konsumsi,"
di mana nilai-nilai tradisional dan spiritual semakin tergerus oleh obsesi
terhadap barang dan kenikmatan. Menurutnya, konsumsi bukan lagi sekadar
pemenuhan kebutuhan, melainkan menjadi alat untuk membangun identitas diri.
Akibatnya, hedonisme tumbuh subur sebagai bentuk ekspresi individu di tengah
masyarakat kapitalis yang mengutamakan materialisme.
Sosiolog
lainnya, Zygmunt
Bauman, dalam konsepnya tentang liquid modernity, menyatakan bahwa
di dunia modern yang penuh ketidakpastian, individu sering mencari kenyamanan
dalam kesenangan sementara. Karena nilai-nilai tradisional dan ikatan sosial
melemah, banyak orang beralih pada kenikmatan duniawi sebagai cara untuk
mengatasi rasa kekosongan dan ketidakpastian dalam hidup.

Dampak
Hedonisme terhadap Masyarakat
Gaya hidup hedonis tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada
masyarakat secara keseluruhan. Hedonisme yang mendorong konsumerisme berlebihan
dapat memperparah ketimpangan sosial dan merusak lingkungan. Selain itu,
hedonisme dapat mengikis nilai-nilai moral dan spiritual, sehingga menghambat
pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.
Penutup
Hedonisme, meskipun tampak menarik, pada akhirnya akan membawa kita pada
kehancuran. Dalam era yang serba instan ini, kita perlu waspada terhadap godaan
hedonisme dan membangun fondasi hidup yang kuat berdasarkan nilai-nilai
spiritual dan sosial. Jika tidak, kita akan kehilangan makna hidup dan merusak
tatanan sosial yang kita tinggali.