Mataram
Baru : 30 Desember 2024
“Wah
enak nih tahun baru buka durian”,
candaan ini pun ikut laris di bulan Desember.
Desember
di Lampung Timur hadir dengan pesonanya yang khas. Hujan deras membasahi tanah,
menciptakan suasana sejuk dan harum khas Bumei Tuah Bepadan. Di antara
rintik yang turun, aroma durian merebak dari gubuk-gubuk penjual durian
dipinggir jalan, mengundang selera siapa saja yang melintas. Di sisi lain, Riuh
pesta pernikahan memenuhi tiap pelosok wilayah. Alunan gendang, tawa tamu, dan
sorak anak-anak yang bermain di sekitar tenda, seolah berpadu dengan wangi
durian yang mengisi udara. Dua fenomena khas muncul bersamaan, musim pernikahan
yang riuh dengan pesta adat dan panen durian yang menghadirkan kelezatan tak
tertandingi. Kedua hal ini, meski terlihat sederhana namun memiliki tempat
istimewa dalam kehidupan masyarakat setempat. Musim pernikahan dan musim durian
bukan hanya kebetulan, keduanya adalah simbol keberkahan, kebersamaan, dan
kemeriahan hidup di penghujung tahun.
Pengalaman ini nyata bagi saya ketika suatu
sore menyusuri sepanjang jalan lintas timur Lampung di tengah gerimis. Hawa
sejuk musim hujan berpadu dengan aroma durian yang merebak dari tumpukan buah,
menciptakan sensasi unik yang tak terlupakan. Sepanjang jalan banyak saya temui
tenda pesta pernikahan dengan nuansa warna-warni, lengkap dengan alunan musik
tradisional yang mengiringi prosesi adat. Di sisi lain, di sepanjang jalan
lintas timur, gubuk-gubuk sederhana yang dipenuhi durian berjajar menawarkan
godaan bagi siapa saja yang lewat.
Sebuah gubuk sederhana di pinggir jalan
menarik perhatian saya, terlihat durian segar digantung memenuhi seluruh
ruangan gubuk. Saya berhenti untuk berteduh, dan langsung disambut oleh
pedagang dengan ramah dan penuh canda.
"Mau yang rasa manis cinta atau yang
pahit rindu?" ujar sang penjual sambil tersenyum. Suasana ini menciptakan
kehangatan tersendiri, menjadikan transaksi lebih nyaman dari sekadar jual
beli. Bagi banyak orang, momen paling berkesan sering kali terjadi saat membeli
durian. Dalam percakapan ringan, terselip humor yang mempererat hubungan antar
masyarakat, sekaligus menjadikan durian sebagai simbol keramahan dan
kebahagiaan bersama.
“Rasa Pengen nikah lagi mas?” Jawabku, sambil menikmati durian mentega dengan daging
yang legit dan harum. Sambil bercakap, penjual bercerita tentang bagaimana
duriannya sering menjadi "bintang tamu" dalam pesta pernikahan, menjadi
hidangan istimewa atau menjadi suguhan untuk tamu terdekat.
Momen ini menjadi refleksi sederhana betapa
tradisi dan alam saling berpadu, membentuk keselarasan yang memikat dalam
kehidupan masyarakat Lampung Timur. Pengalaman
sederhana ini membuat saya merenung, betapa eratnya hubungan antara tradisi,
alam, dan kebahagiaan yang dibagi bersama.
Lampung
Timur memang memiliki tradisi pernikahan yang semarak, terutama di penghujung
tahun. Banyak pasangan memilih Desember sebagai bulan yang baik untuk melangkah
ke pelaminan. Tidak hanya itu, musim durian yang bertepatan dengan musim
pernikahan turut memberi warna tersendiri bagi kehidupan masyarakat setempat.
Durian bukan sekadar buah, ia telah menjadi simbol kebahagiaan dan kemewahan
dalam berbagai acara, termasuk pesta pernikahan.
Uniknya,
durian dan pernikahan di Lampung Timur tidak hanya berbicara tentang tradisi,
tetapi juga humor lokal yang kaya makna. Di beberapa kesempatan, durian kerap
disebut sebagai “buah cinta”—manis dan menggoda di luar, namun hati-hati “bisa
tertusuk” dengan durinya.

Bulan
Desember, musim pernikahan di Lampung Timur seperti tak pernah mengenal sepi.
Hampir setiap hari, pesta meriah digelar di berbagai kampung, dengan tenda
besar yang berjejer di depan rumah, dihias, semarak suasana. Suara musik
tradisional berpadu dengan modern mengalun dari pengeras suara, mengiringi
prosesi adat yang penuh makna. Dari akad nikah yang khidmat hingga pesta rakyat
yang riuh dengan tawa dan suguhan kuliner khas, setiap pernikahan adalah
perayaan kehidupan yang memancarkan kekayaan budaya setempat.
Tentu
kemeriahan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab satu keluarga, tetapi juga
melibatkan seluruh komunitas. Tradisi gotong royong masih hidup subur di
Lampung Timur, terutama dalam penyelenggaraan pernikahan. Para tetangga
bahu-membahu menyiapkan segala kebutuhan, mulai dari memasang tenda, memasak
hidangan, hingga mengatur tamu. Dalam suasana seperti ini, hubungan antarwarga
terasa begitu erat, menciptakan ikatan sosial yang lebih dalam.
Di
balik kemeriahan itu, selalu ada kisah-kisah lucu yang menghiasi musim
pernikahan. Salah satu fenomena yang sering terjadi adalah "undangan
bertumpuk." Di hari yang sama, bisa saja ada tiga hingga lima undangan
pernikahan. Para tamu pun dibuat sibuk berpindah dari satu pesta ke pesta
lainnya, terkadang hanya sempat mencicipi hidangan sebelum bergegas ke lokasi
berikutnya. Kisah lucu lainnya, tamu yang salah masuk pesta karena alamat yang
mirip, ada juga yang terburu-buru memilih "makanan favorit" sebelum
pindah ke undangan berikutnya hanya karena alasan sayang saja.
Di
antara canda tawa, ungkapan lokal seperti "buka durian" sering
terdengar, merujuk pada malam pertama pengantin baru. Istilah ini tak hanya
membawa tawa, tetapi juga menggambarkan keakraban masyarakat yang terbiasa
menyelipkan humor dalam setiap momen penting. Ini adalah cerminan dari
kehidupan yang penuh warna dan kebersamaan. Di tengah lebat hujan Desember,
cinta dan budaya lokal berpadu, menciptakan cerita-cerita yang akan terus
dikenang oleh setiap generasi.
“Buka
Durian”
Saat
musim tiba, durian seperti menjadi raja tak tertandingi di Lampung Timur. Buah
dengan aroma khas dan rasa manis legit ini selalu dinantikan kehadirannya. Bagi
masyarakat lokal, durian lebih dari sekadar buah, ia adalah lambang
keistimewaan yang membawa kehangatan di tengah dinginnya hujan. Durian Lampung
Timur, dengan dagingnya yang tebal dan bijinya yang kecil, menjadi salah satu
primadona yang kelezatannya sulit ditolak, baik oleh penduduk setempat maupun
para wisatawan. Hasil alam ini menjadi kebanggaan daerah, mencerminkan kesuburan
tanah dan kearifan lokal yang menjadikannya begitu istimewa.
Durian
juga memiliki tempat dalam humor lokal yang kerap mewarnai kehidupan
sehari-hari. Ungkapan "buka durian" sering digunakan sebagai metafora
jenaka untuk malam pertama pengantin baru, membandingkan rasa penasaran
sekaligus kejutan manis yang datang setelah membuka kulit durian. Tidak jarang,
candaan ini menjadi bahan obrolan santai di keluarga, mencairkan suasana
setelah pesta pernikahan selesai.
Kisah-kisah
lucu saat resepsi pun muncul. Seperti, candaan dari keluarga pengantin, “wah
enak nih tahun baru belah durian”, yang kontan membuat wajah pengantin menjadi
merah. Ada juga pengantin yang "dihadiahi" durian oleh teman dekat
sebagai bentuk doa dan lelucon agar “sang raja” berani buka durian. ( Raja
sebagai sebutan untuk pengantin pria).
Sebagai
hidangan, durian sering disajikan dalam acara keluarga pasca-pernikahan.
Kehadirannya seolah menjadi penutup manis dari rangkaian pesta yang melelahkan.
Selain dinikmati langsung, durian juga diolah menjadi berbagai sajian lezat,
seperti es durian yang segar atau kopi durian yang hangat. Popularitas hidangan
ini menjadikan durian bukan hanya sebagai
buah favorit, tetapi juga ikon yang menguatkan identitas Lampung Timur.
Durian,
dengan segala keunikannya, sering kali diibaratkan sebagai simbol pernikahan
dalam budaya masyarakat di Lampung Timur. Rasa manis dari daging buah yang
lembut di balik kulitnya yang berduri menjadi gambaran kehidupan rumah
tangga—campuran suka dan duka yang harus dinikmati bersama, melambangkan
kebahagiaan yang bisa diraih setelah melewati berbagai rintangan. Seperti
mengingatkan pasangan pengantin bahwa “cinta sejati tidak hanya soal menikmati
yang manis, tetapi juga bersama-sama mengatasi yang pahit dan sulit”. Kulit
durian yang keras mencerminkan perlindungan yang dibutuhkan dalam menjaga
cinta, serupa dengan upaya pasangan untuk melindungi keluarga mereka dari
berbagai tantangan. Durian seakan mengingatkan bahwa di balik setiap kesulitan,
selalu ada kebahagiaan yang menunggu untuk ditemukan.
Lebih
dari itu, tradisi lokal seperti musim pernikahan dan kehadiran durian memiliki
makna yang jauh lebih mendalam. Keduanya menjadi perekat sosial yang memperkuat
hubungan antarwarga. Gotong royong yang ditunjukkan dalam setiap perayaan
pernikahan tidak hanya memperlihatkan nilai kebersamaan, tetapi juga menegaskan
betapa pentingnya saling mendukung dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan,
humor-humor ringan seputar durian dan pernikahan membawa pesan moral bahwa
cinta dan kehidupan, meski kadang rumit, dapat dinikmati dengan tawa dan rasa
syukur.
Pada
akhirnya, musim pernikahan dan durian di Lampung Timur adalah lebih dari
sekadar momen, keduanya adalah cerminan identitas lokal yang penuh makna. Di
dalam tradisi dan humor itu, tersimpan ajakan untuk merayakan kebersamaan,
menjaga hubungan, dan menemukan keindahan dan kebahagiaan dalam hal-hal
sederhana, untuk dirasakan dengan hati-pikiran yang terbuka dan penuh apresiasi.
(Wasthan)