Oleh: Penghulu KUA Kec. Telaga
( Zulkifli Tolinggi )
Gorontalo, 16 Juli 2025 — Fenomena pernikahan di bawah umur dan praktik nikah siri masih menjadi tantangan serius di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Gorontalo. Meski telah ada payung hukum yang mengatur usia minimal pernikahan dan tata cara pencatatan pernikahan, namun praktik di lapangan masih menyisakan kekhawatiran akan dampak sosial, psikologis, dan keagamaan bagi pasangan, terutama perempuan dan anak.
Aspek Hukum: Menjaga Hak Anak dan Legalitas Perkawinan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 hasil revisi dari UU Nomor 1 Tahun 1974 telah menetapkan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Ketentuan ini bertujuan melindungi hak-hak anak dan memastikan kesiapan fisik, mental, serta sosial dalam membina rumah tangga.
Sementara itu, nikah siri, yaitu pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA), menimbulkan banyak persoalan hukum. Anak hasil pernikahan siri rentan tidak mendapatkan akta kelahiran, istri tidak memiliki kekuatan hukum atas nafkah, waris, maupun perlindungan hukum, dan suami leluasa untuk melepaskan tanggung jawab tanpa konsekuensi hukum.
Pandangan Agama: Islam Menjunjung Keadilan dan Kematangan dalam Pernikahan
Dalam perspektif Islam, pernikahan adalah ibadah dan perjanjian suci (mitsaqan ghalizan) yang harus didasari kerelaan, kematangan akal, dan kemampuan bertanggung jawab. Menikahkan anak tanpa kesiapan hanya akan menyalahi tujuan luhur pernikahan, yaitu sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Para ulama dan tokoh agama memiliki peran penting dalam memberikan edukasi bahwa meskipun pernikahan dini atau nikah siri bisa sah menurut fiqh klasik, namun dalam konteks modern, keduanya mengandung mafsadat (kerusakan) yang lebih besar daripada maslahatnya. Islam sangat menganjurkan perlindungan terhadap perempuan dan anak, serta pengakuan negara sebagai bentuk keteraturan sosial.
Dampak Sosial: Masa Depan Anak Terancam
Pernikahan di bawah umur seringkali menyebabkan putus sekolah, kehamilan risiko tinggi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perceraian dini. Data BPS dan BKKBN menunjukkan bahwa pernikahan anak berkontribusi terhadap kemiskinan antar generasi karena pasangan belum matang secara ekonomi.
Begitu pula dengan nikah siri, banyak perempuan yang akhirnya menjadi korban pernikahan tidak diakui. Mereka kehilangan akses atas bantuan pemerintah, hak hukum atas anak, bahkan mengalami marginalisasi di lingkungan sosialnya.
Peran KUA dan Pemerintah: Edukasi, Mediasi, dan Regulasi
Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai ujung tombak Kementerian Agama terus melakukan pembinaan pranikah, edukasi hukum pernikahan, serta penyuluhan agama untuk mencegah praktik nikah di bawah umur dan nikah siri. Selain itu, kerja sama lintas sektor dengan Disdukcapil, PA (Pengadilan Agama), sekolah, dan tokoh masyarakat terus diperkuat.
Program inovatif seperti Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS), Bina Keluarga Remaja, hingga Program PASUTRI (Pelayanan Administrasi Suami Istri) menjadi wujud nyata pemerintah dalam menciptakan perkawinan yang sehat, legal, dan berkah.
Kesimpulan: Membangun Generasi yang Tangguh Dimulai dari Pernikahan yang Matang
Pernikahan bukanlah sekadar urusan cinta, melainkan tanggung jawab besar yang membutuhkan kesiapan lahir dan batin. Mencegah pernikahan anak dan nikah siri adalah bagian dari upaya bersama menciptakan generasi yang cerdas, sehat, dan bermartabat.
Perlu sinergi dari semua pihak—orang tua, pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat—untuk menjadikan pernikahan sebagai lembaga yang kokoh, sah secara hukum, dan diberkahi oleh Allah SWT.
“Tidak ada kebaikan dalam sesuatu yang tergesa-gesa, kecuali dalam lima perkara, salah satunya adalah dalam pemakaman jenazah. Adapun pernikahan, hendaklah dilakukan dengan pertimbangan dan kesiapan.”
(Hadis riwayat Tirmidzi)