Residu Pasca Pilkada: Merajut Kembali
Persatuan di Tengah Polarisasi
oleh : (H. Kasbolah, M.Pd.)
1. Pengantar: Residu Pilkada
Pilkada serentak telah usai,
meninggalkan residu berupa polarisasi, perpecahan, bahkan gesekan sosial di
masyarakat. Kompetisi politik sering kali memecah persaudaraan, baik dalam
lingkup keluarga, pertemanan, maupun komunitas. Residu ini tak boleh dibiarkan
berlarut-larut karena dapat menghambat proses rekonsiliasi sosial yang esensial
bagi keberlangsungan bangsa.
Sebagai masyarakat yang berlandaskan
nilai-nilai luhur Pancasila, tugas kita adalah mengatasi residu ini dan
mengembalikan harmoni sosial, bukan sekadar merayakan kemenangan atau meratapi
kekalahan.
2. Menyikapi Kemenangan dan
Kekalahan
Kemenangan dalam demokrasi bukanlah
milik segelintir pihak. Begitu pula kekalahan bukan akhir dari segalanya.
Demokrasi sejati menuntut kita untuk bersikap dewasa: yang menang jangan
jumawa, yang kalah harus lapang dada.
Residu emosional, seperti dendam atau
euforia berlebihan, hanya memperburuk suasana kebatinan masyarakat. Di sinilah
kedewasaan berdemokrasi harus hadir, untuk menyadari bahwa pemimpin terpilih
adalah milik seluruh rakyat, bukan hanya mereka yang memilihnya.
3. Dampak Polarisasi di Masyarakat
Polarisasi politik seringkali
memperlebar jarak antar individu atau kelompok masyarakat. Narasi kebencian,
fitnah, dan hoaks yang muncul selama masa kampanye meninggalkan luka yang sulit
sembuh.
Namun, residu ini bisa dikelola
dengan pendekatan dialogis, mengedepankan nilai-nilai persaudaraan, dan
membangun kembali komunikasi yang terputus. Sebagai bangsa besar, Indonesia
telah berkali-kali membuktikan mampu melewati ujian polarisasi dengan semangat
kebersamaan.
4. Pentingnya Rekonsiliasi Sosial
Rekonsiliasi adalah kunci untuk
membersihkan residu pasca Pilkada. Masyarakat harus menghentikan polarisasi dan
kembali pada rutinitas dengan semangat persatuan. Aparatur negara, khususnya
Kementerian Agama, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi fasilitator
rekonsiliasi melalui pendekatan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan
ukhuwah basyariah.
Keberagaman yang ada di Indonesia
adalah anugerah yang perlu dirawat, bukan dijadikan alasan untuk saling
berpecah belah. Perbedaan pandangan adalah hal biasa, namun persatuan adalah
tujuan yang lebih utama.
5. Merangkul Pesan Ulama
Sebagaimana disampaikan Ketua PWNU
Provinsi Lampung yang sekaligus Kakanwil Kemenag Lampung Bapak Dr. KH. Puji
Raharjo, Pilkada hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Pesan beliau untuk
menjaga kerukunan, kedamaian, dan kondusivitas menjadi relevan di tengah
situasi pasca Pilkada yang penuh residu.
Ulama dan tokoh agama memiliki peran
strategis dalam meredakan ketegangan, menyatukan kembali masyarakat, serta
mengingatkan bahwa tujuan bersama adalah membangun bangsa, bukan memperuncing
perpecahan.
6. Kesimpulan:
Residu Pilkada harus diatasi dengan
kedewasaan, rekonsiliasi, dan semangat persaudaraan. Pemimpin terpilih adalah
milik semua, bukan kelompok tertentu. Masyarakat Indonesia perlu mengingat
kembali jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi persatuan dalam
keberagaman.
Melalui ukhuwah yang kokoh dan
pengelolaan residu yang bijak, kita dapat melangkah maju untuk membangun
Indonesia yang lebih harmonis, damai, dan sejahtera.
Refrensi :
Edwinarta, Caesar Demas, and Rizkya Dwijayanti.
"Komunikasi Politik Elit NU dan Muhammadiyah dalam Pilkada Kediri." Jurnal
Kajian Media 2, no. 1 (2016).
Sitorus, H. J., & Tanoyo, M. (2024). Polarisasi Politik
Melalui Interaksi Sosial Di Instagram: Studi Kasus Pemilu 2024 Di Indonesia. Jurnal
Ilmu Komunikasi Dan Media Sosial (JKOMDIS), 4(2), 383-394.