M. Sultan Latif Rahmatulloh
CPNS Penghulu KUA Karangkobar Kabupaten Banjarnegara
Di panggung hukum Islam di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tampil bak “penengah bijak” di tengah riuh perbedaan pendapat para fuqaha.
Salah satu isu yang memantik perdebatan klasik sekaligus memancing adrenalin
intelektual adalah hukum perkawinan wanita hamil karena zina. Di satu sisi,
sebagian fuqaha memandang pernikahan semacam ini problematis bahkan tak
sah karena kehamilan tersebut lahir dari hubungan di luar pernikahan yang
dianggap meruntuhkan moralitas. Di sisi lain, ada pula ulama yang mengambil
sikap lebih longgar dengan pertimbangan maslahah dan legitimasi sosial.
Nah, di sinilah KHI hadir seperti wasit yang membawa peluit
kompromi. Dengan gaya khasnya yang memadukan fiqh, hukum positif, dan konteks
sosial-keindonesiaan, KHI mencoba mencari jalan tengah agar hukum tidak hanya
tegak di atas teks, tetapi juga berpijak pada realitas umat. Kesaktian KHI
bukan sekadar soal “legalitas hitam-putih”, melainkan kemampuannya menyatukan
suara-suara berbeda dalam satu naskah hukum yang resmi diakui negara.
Persoalan nikah wanita hamil karena zina, pada akhirnya bukan hanya
perkara halal-haram, sah-batal, atau dosa-pahala semata. Ia adalah potret
bagaimana hukum Islam bernegosiasi dengan zaman, bagaimana teks klasik berjumpa
dengan problem kontemporer, dan bagaimana KHI mencoba memadukan keduanya tanpa
membuat salah satu pihak dianggap “kalah”.
Beda Pandangan Fuqaha tentang Nikah Wanita Hamil karena Zina
Pandangan pertama dari ulama hanafiyah, madzhab ini
menganggap bahwa hukum menikahi wanita dalam kondisi hamil karena zina adalah
sah. Alasannya selama wanita itu bukan bagian dari mahram (wanita yang
haram dinikahi) sebagaimana yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 22-24 maka
diperbolehkan untuk dilangsungkan pernikahan.
Namun tidak sesederhana itu, Az-Zuhaily (2002) menyatakan bahwa yang
berhak menikahi wanita hamil karena zina adalah laki-laki yang menghamilinya.
Nah, dalam kasus ini ulama hanafiyah berbeda pandangan terkait hukum bagaimana
jika yang menikahinya adalah bukan laki-laki yang menghamilinya? Penulis akan
mencoba menjawabnya dengan cara seksama dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Millah & Jahar (2019) menyebutkan bahwa ulama hanafiyah memiliki
dua pandangan terkait pertanyaan tersebut. Ualama golongan pertama menganggap
sah-sah saja jika yang menikahi bukan laki-laki yang menghamilinya dengan
alasan selama masa hamil tidak boleh disetubuhi, sedangkan ulama kedua
berpendapat bahwa haram hukumya jika bukan laki-laki yang menghamilinya.
Pandangan kedua dari ulama malikiyah sangat jelas dan lugas,
yaitu tidak sah hukumnya pernikahan seorang wanita yang hamil karena zina. Kecuali
bayi dalam kandungan telah dilahirkan. Pendapat ini juga dikutip oleh Millah
& Jahar (2019) yang menyatakan secara lugas bahwa ulama malikiyah hanya
membolehkan pernikahan wanita hamil sebab zina setelah ia dinyatakan bersih (istibra’)
atau bayi tersebut telah dilahirkan.
Kita beranjak pada pandangan yang ketiga, masih merujuk pada
Wahbah Az-Zuhaily yang menyebutkan bahwa Ulama Syafi’iyah mengesahkan
pernikahan wanita hamil sebab zina dengan lelaki yang menghamilinya ataupun
selainnya. Bahkan menyutubuhinya tatkala masih mengandung pasca pernikahan pun
diperbolehkan, meskipun sebagian kelompok madzhab Syafi’iyah menganggap makruh.
Keempat, berbeda dengan pandangan
sebelumnya, Ulama Hanabilah berpendapat tidak sah bagi lelaki menikahi wanita
yang sedang hamil karena zina. Kecuali setelah melahirkan, dan ada satu syarat
lagi yaitu si wanita telah bertaubat pada Tuhannya. Karena ketika ia belum
bertaubat dari perbuatan zinanya maka masih dihukumi sebagai seorang pezina
begitupun sebaliknya.
KHI dan Upaya Kompromi
Setelah menikmati perdebatan di atas, akhirnya kita telah sampai ke
depan pintu gerbang pembahasan utama. Kenapa saya menganggap KHI sakti? Coba
bayangkan KHI sebagai sebuah rujukan hukum Islam resmi di Indonesia harus mampu
mengakomodir perbedaan pandangan para fuqaha sekaligus dihadapkan dengan
konteks sosio-kultural di Indonesia yang sangat beragam.
Belum lagi KHI diletakkan ditengah-tengah banyaknya perbedaan
penafsiran agama di Indonesia. Ada yang model beragamanya condong ke kanan, ada
yang santuy ada juga yang nyelneh. Senyelneh ‘Bunuh diri dianggap Jihad’
atau senyelneh ‘Jumatan boleh via Zoom Meeting’, ya sudahlah.
Baik, kita kembali kepada persoalan. Terkait hukum pernikahan wanita
hamil karena zina, termaktub dalam KHI pada bab VIII berjudul “Kawin Hamil”
pasal 53. Secara tekstual dibunyikan dengan: (1) Seorang wanita yang hamil
di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya; (2) Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu
lebih dahulu kelahiran anaknya; (3) dengan dilangsungkannya perkawinan pada
saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawainan ulang setelah anak yang
dikandung itu lahir.
Pasal ini sebenarnya merupakan jawaban hukum terhadap drama
biologis yang kerap kali mendahului legalitas formal sebuah hubungan. Ayat
pertama berbunyi bahwa seorang perempuan yang hamil di luar ikatan pernikahan
boleh (secara hukum) dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya.
Di balik bahasa yang terlihat sederhana ini, tersimpan pesan moral
sekaligus sosial. Negara tidak hendak memutus tali tanggung jawab si lelaki
karena perbuatan itu terjadi sebelum akad. Dalam bahasa lain, ini semacam
“jalan pulang” agar urusan biologis dan sosial bisa bertemu di bawah satu payung
yaitu perkawinan yang sah.
Pada ayat yang berbunyi 1) Seorang wanita yang hamil di luar
nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya; KHI sepertinya sudah
jelas poisisinya, bahwa Wanita hamil karena zina sah untuk melangsungkan
pernikahan meskipun bayi tersebut belum dilahirkan. KHI tampaknya sedang
memainkan dua nada sekaligus yaitu nada kehati-hatian yang serius dan nada
kelonggaran yang agak santai.
Di sinilah letak persoalannya, apakah perempuan hamil di luar nikah
hanya boleh dinikahi si aktor utama alias lelaki yang menghamilinya?
Atau boleh juga oleh pemeran pengganti? Sekilas, kita cenderung mengira
jawabannya: “ya, hanya si penghamil lah yang sah!”
Tapi tunggu dulu. Irfan (2013) dalam Nasab dan Status Anak dalam
Hukum Islam memberi kita kacamata yang berbeda. Menurutnya, diksi “dapat”
pada ayat 1 pasal 53 bukan sekadar kata sambil lalu. Kata ini justru membuka
pintu kemungkinan bahwa lelaki lain, selain si penghamil, juga bisa masuk
sebagai kandidat suami. Di sinilah KHI jadi menarik seolah-olah ia berkata:
“Hey, jangan buru-buru menyimpulkan. Hukum punya banyak pintu masuk.”
Lalu, mari kita bergeser sebentar ke KBBI. Kata “dapat” di sana
diterjemahkan simpel “mampu atau sanggup.” Lalu kalau kita lempar ke kamus
hukum internasional, kata can muncul, dan ia membawa makna yang lebih
garang: “memiliki kekuatan atau wewenang hukum untuk bertindak, bukan sekadar
kemampuan fisik semata.” Jadi, can di sini bukan cuma “bisa,” tapi
“punya legitimasi.”
Artinya? Bunyi ayat pertama bisa dipahami begini “kalau mampu
maka nikahkan dengan lelaki yang mengamilinya”. Tapi kalau dia lari entah
ke mana, hukum tidak menutup pintu bagi lelaki lain yang mau bertanggung jawab.
Bahkan Irfan (2013) cukup berani menyimpulkanm, ayat ini sebenarnya bisa saja
berbunyi, “Seorang wanita hamil di luar nikah dapat tidak dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya.”
Pertanyaan berikutnya kemudian muncul, mengapa para perumus KHI
memilih diksi “dapat” yang di mata sebagian cendekiawan dianggap ambiguitas?
Kenapa tidak sekalian saja memakai kata yang tegas seperti “sah” atau “tidak
sah,” biar jelas, tanpa ruang tafsir yang berliku-liku? Nah, di sinilah letak kesaktian
KHI. Ia seperti sengaja bermain di wilayah abu-abu, bukan karena ragu, tapi
karena sadar realitas jarang sekali jelas antara hitam-putih.
Sejak awal, KHI memang diposisikan sebagai jembatan emas yang
berusaha mengawinkan aneka pandangan para fuqaha yang sering kali
berbeda-beda. Tak cukup sampai di situ, KHI juga harus bersalaman dengan
realitas ke-Indonesiaan yang super kompleks, adat yang berlapis-lapis, hukum
yang berjejaring, dan keragaman tafsir keagamaan yang nyaris tak ada habisnya.
Jadi, pilihan kata “dapat” itu bukan kelemahan, melainkan strategi, sebuah
fleksibilitas hukum tapi tidak menutup pintu bagi keragaman konteks.
KHI sejatinya sedang memberikan langkah antisipatif, dalam
realitasnya wanita hamil tidak selalu diakibatkan karena hubungan suka sama
suka. Bahkan banyak terjadi wanita hamil karena sebab pemerkosaan, atau korban kebejatan
dari laki-laki berhidung belang. Lalu coba anda bayangkan betapa na’asnya
nasib wanita dan anak tersebut jikalau hanya boleh dinikahkan dengan lelaki
yang menghamilinya.
KHI sebagai payung hukum ingin memastikan bahwa setiap jiwa yang
lahir di dunia ini mendapat hak dan keadilan. Ini adalah spirit yang sejati, sebagaimana
yang disebutkan oleh Mahfud MD bahwa “Produk hukum harus mempertimbangkan
keadilan dan manfaat, tidak hanya kepastian.” Bagaimana menurut kalian?
Sumber gambar: https://baladena.id/paradigma-hukum-dalam-positivisme-dan-hukum-islam/