JAMAAH HAJI BERTENGKAR SAAT ANTREAN BUS
Inspirasi

JAMAAH HAJI BERTENGKAR SAAT ANTREAN BUS

  28 May 2025 |   31 |   Penulis : PC APRI Lampung Timur|   Publisher : Biro Humas APRI Lampung

JAMAAH HAJI BERTENGKAR SAAT ANTREAN BUS

Oleh: Dr. Tohari, S.Sy., S.Th.I., M.S.I
Ketua Kafilah Haji ‘Aisyiyah Kulon Progo, Yogyakarta, H. Kasbolah, M. Pd. Penghulu KUA Sekampung Udik

Abstrak

Menjaga lisan dan emosi dalam ibadah haji merupakan tantangan spiritual yang nyata. Artikel ini menggambarkan fenomena pertengkaran jamaah haji saat antrean bus menuju atau kembali dari Masjidil Haram. Penulis merefleksikan peristiwa tersebut dengan meninjau ajaran Islam mengenai larangan berjidal (berdebat) selama ibadah haji dan pentingnya kontrol diri demi meraih haji yang mabrur.


Pendahuluan

Ibadah haji adalah puncak dari ibadah fisik dan spiritual yang menuntut kesabaran, keteguhan hati, serta kontrol emosi yang tinggi. Di antara tantangan terbesar yang dihadapi jamaah haji adalah kondisi kerumunan dan antrean panjang yang dapat memicu ketegangan dan konflik, terutama saat menunggu bus pengangkut jamaah dari dan ke Masjidil Haram.

Fenomena di Lapangan

Penulis menyaksikan langsung peristiwa saat seorang jamaah terdorong oleh desakan antrean panjang, lalu secara spontan mengucapkan kata-kata kasar seperti “asu” dan “bajingan” dengan ekspresi marah. Beruntung, jamaah lain berhasil melerai dan mendamaikan situasi.

Dalam kejadian lain, seorang anggota rombongan kami hampir terlibat perkelahian karena merasa tidak terima didorong oleh jamaah lain. Namun, ia segera tersadar bahwa tindakannya termasuk kategori jidal (perdebatan/pertengkaran) yang dilarang saat haji. Ia mengingat bahwa pahala haji yang ditunggu hingga 20–30 tahun bisa rusak dalam hitungan detik karena perilaku seperti ini. Haji semacam itu bukanlah haji mabrur, melainkan haji mardud (ditolak).

Larangan Berjidal dalam Haji

Allah Swt. menurunkan ayat khusus yang melarang perdebatan selama pelaksanaan ibadah haji:

وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
"Dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji."
(QS. Al-Baqarah: 197)

Para ulama salaf menafsirkan larangan ini sebagai larangan untuk:

  • mendebat kawan hingga membuatnya marah,
  • meninggikan suara terhadap sesama,
  • mencaci maki saudara seiman,
  • dan menimbulkan permusuhan.

Penafsiran ini dapat ditemukan dalam Tafsir at-Thabari (3/477–482), Zaadul Masiir (1/165), serta diperkuat oleh pendapat mayoritas ulama, termasuk Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Thawus, Atha’, Ikrimah, An-Nakha’i, Qatadah, dan Adh-Dhahhak. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ (7/140) dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/277) juga menguatkan pandangan tersebut.

Esensi Haji: Merendahkan Diri kepada Allah

Syekh As-Sa’di rahimahullah menegaskan:

“Tujuan dari haji adalah merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Allah, mendekatkan diri kepada-Nya semaksimal mungkin melalui amal-amal kebajikan, serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Dengan cara inilah haji menjadi mabrur. Haji mabrur tidak memiliki balasan kecuali surga. Meskipun perilaku buruk seperti perdebatan dilarang di setiap waktu dan tempat, larangan ini menjadi lebih berat dalam pelaksanaan ibadah haji.”
(Tafsir Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 92)

Penutup dan Doa

Tulisan ini mengajak para jamaah haji untuk senantiasa menjaga lisan, meredam emosi, dan mengingat kembali esensi haji sebagai perjalanan spiritual menuju ridha Allah.

Dalam Risâlah al-Mustarsyidîn, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah mengutip doa indah berikut:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَمْتِي فِكْرًا، وَنُطْقِي ذِكْرًا
Allâhumma-j‘al shamtî fikran wa nuthqî dzikran
"Ya Allah, jadikanlah diamku sebagai perenungan, dan ucapanku sebagai dzikir."

Semoga dengan doa ini, kita dijaga dari lisan yang menyakiti, dan haji kita diterima sebagai haji yang mabrur dan maqbul di dunia dan akhirat.

Wallāhu a‘lam.

Share | | | |