
Opini
Komentar Pembaca
ANTARA CINTA, MAHAR PALSU, DAN KEABSAHAN NIKAH: TELAAH FIKIH & HUKUM POSITIF
15 Oct 2025 | 38 | Penulis : Biro Humas APRI Gorontalo | Publisher : Biro Humas APRI Gorontalo
Oleh: Hasan Dau, S.Fil.I., M.H.
Ketua Umum Asosiasi Penghulu (APRI )Wilayah Gorontalo
Catatan Awal:
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi atau memvonis keabsahan pernikahan siapa pun, termasuk yang baru-baru ini viral karena maharnya disebut mencapai 3 miliar rupiah. Kajian ini murni sebagai refleksi edukatif yang bertujuan memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang hakikat mahar, kejujuran dalam pernikahan, serta implikasi hukum apabila mahar yang dijanjikan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.
? Latar Belakang
Belakangan ini, jagat media sosial diramaikan oleh sebuah pernikahan yang disebut-sebut menggunakan mahar fantastis senilai 3 miliar rupiah. Terlepas dari kebenaran nominal tersebut, publik kemudian mempertanyakan satu hal krusial: apakah pernikahan tetap sah apabila mahar yang disebutkan ternyata palsu, fiktif, atau hanya simbolik belaka?
Sebagai Ketua Umum APRI Wilayah Gorontalo, saya merasa penting untuk menyampaikan pandangan secara komprehensif dari sisi fikih Islam dan hukum positif nasional, agar masyarakat tidak hanya terfokus pada kemewahan seremoni, tetapi juga memahami nilai spiritual, etis, dan hukum dari pernikahan itu sendiri.
? Mahar dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, mahar (ṣadāq) adalah bentuk penghormatan dari suami kepada istri, dan merupakan hak penuh istri. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa: 4:
"Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan..."
Secara fikih, para ulama sepakat bahwa:
Mahar bukan rukun nikah, tapi wajib diberikan.
Jika mahar tidak disebutkan dalam akad, nikah tetap sah, namun suami wajib memberikan mahar mitsil (yang sepadan).
❗ Apa Dampaknya Jika Mahar Ternyata Palsu?
Jika mahar yang dijanjikan atau disebutkan dalam akad ternyata tidak nyata, atau sengaja dipalsukan, maka:
Akad nikahnya tetap sah jika rukun-rukun utama (wali, saksi, ijab-qabul, mempelai yang sah) terpenuhi.
Namun, suami berdosa karena menipu dan melanggar prinsip kejujuran dalam akad.
Istri berhak menuntut mahar yang sebanding, baik secara syariat maupun hukum perdata.
Dalam Islam, akad pernikahan adalah akad mu’āmalah yang menuntut transparansi dan niat baik. Penipuan dalam bentuk apapun, termasuk menyebut mahar palsu, termasuk perbuatan yang diharamkan.
⚖️ Pandangan Hukum Positif di Indonesia
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI):
Mahar bukan rukun nikah, tapi masuk dalam administrasi pencatatan pernikahan di KUA.
Tidak ada ketentuan pidana bagi pemberian mahar yang tidak sesuai nilai, tapi bisa berdampak perdata apabila istri merasa dirugikan dan menggugat.
Hakikat mahar tetap diakui sebagai hak istri yang harus dipenuhi suami secara nyata, bukan simbolik atau manipulatif.
? Penutup: Kembali ke Hakikat Pernikahan
Fenomena mahar fantastis, jika tidak diiringi dengan kejujuran dan ketulusan, justru dapat merusak esensi pernikahan. Pernikahan bukan ajang unjuk kekayaan, tapi ibadah yang sakral. Mahar bukan hanya simbol, tapi bukti komitmen.
Sebagai Ketua Umum APRI Wilayah Gorontalo, saya mengajak masyarakat untuk kembali pada nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Jangan sampai demi pencitraan, kita menabrak etika syariah dan hukum.
Mari kita bangun pernikahan yang tidak hanya viral, tapi bernilai, berkah, dan berkelanjutan.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
H. Subhan, S.Ag., M.Sy.
2025-10-15 17:28:14
Mantap,