Jabung, 07/05/2025.
Pernikahan bukan sekadar ikatan dua insan, tetapi juga penyatuan dua keluarga, dua nasib, dan dua laku hidup yang akan menempuh jalan baru dalam labirin takdir. Setiap prosesi pernikahan mengandung filosofi mendalam — dari seserahan hingga sungkeman — semuanya sarat makna pengabdian, gotong-royong, dan harapan barokah.
Salah satu tradisi yang tak pernah absen dalam hajatan pengantin adalah amplop dari para tamu undangan. Mereka datang membawa doa, harap, dan secarik rupiah yang disisipkan dalam amplop kecil — bukan semata-mata sebagai balasan jamuan, melainkan bentuk "melu bungah" (ikut bahagia) atas kebahagiaan sang pengantin.
Namun, di balik tumpukan amplop itu, tersembunyi potensi luhur yang sering terlewatkan yakni wakaf tunai — persembahan cinta untuk keberlangsungan cinta itu sendiri. Dalam falsafah Jawa, "urip iku urup" (hidup itu menyala), artinya hidup yang bermakna adalah yang memberi terang bagi sekitar. Maka, menjadikan sebagian dari uang amplop itu sebagai wakaf tunai, adalah bentuk urip yang nguripi (hidup yang menghidupkan).
Wakaf tunai yang diikrarkan oleh pengantin di awal rumah tangganya bukan sekadar sumbangsih sosial, tetapi juga tanda bahwa cinta mereka berakar pada nilai-nilai spiritual yang mendalam. Ia menjadi benih amal jariyah, yang terus mengalirkan pahala bahkan ketika pengantin telah beruban, menua, hingga kelak berpulang.
Inilah ikatan cinta abadi yang tak hanya bertumpu pada rasa dan raga, tapi juga pada niat mulia: menanam kebaikan di jalan Allah, atas nama cinta yang dipersaksikan langit dan bumi.
Dalam filosofi Jawa, cinta yang sejati adalah cinta yang ngopeni (memelihara), bukan sekadar ngumbar (melampiaskan). Maka wakaf tunai menjadi simbol ngopeni — terhadap sesama, terhadap alam, dan terhadap nilai-nilai luhur dalam rumah tangga. Dari wakaf itulah pengantin bisa turut memberi beasiswa, membangun sumur wakaf, atau menanam pohon produktif untuk desa. Semua itu berawal dari amplop kecil yang dikembalikan kepada semesta dengan niat besar.
Bayangkan, sebuah rumah tangga yang awalnya dibangun dari akad, doa, dan wakaf. Maka rumah itu bukan sekadar tempat tinggal, tetapi taman amal yang senantiasa berbunga meski musim silih berganti. Karena cinta yang ditanam dengan keikhlasan akan berbuah berkah — tan kena ing waktu, tan kena ing pati (tak tergilas oleh waktu, tak terhapus oleh kematian).
Wakaf tunai dari uang amplop hajatan bukan kehilangan, melainkan pemuliaan. Ia adalah bentuk ngalap berkah — menyerap keberkahan dari ridha Allah dan restu leluhur.
Begitulah caranya cinta menjadi abadi: tidak dengan janji-janji di pelaminan, tetapi dengan amal yang menembus batas kehidupan. MKA