MUI Dan Guru Ngaji Di Kampung, Ustadz/kiai Kaya Di Bully
Inspirasi

MUI Dan Guru Ngaji Di Kampung, Ustadz/kiai Kaya Di Bully

  08 Jan 2025 |   146 |   Penulis : PC APRI Lampung Timur|   Publisher : Biro Humas APRI Lampung

MUI Dan Guru Ngaji Di Kampung, Ustadz/kiai Kaya Di Bully
Tohari bin Misro


Visi Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Terciptanya kondisi kehidupan yang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang baik, yang memperoleh ridha dan ampunan Allah SWT (baldatun thayibatun wa rabbun ghafur) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal muslimin) dalam wadah NKRI.

Dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945, di mana negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan negara pun menciptakan manusia yang beriman, bertaqwa serta berakhlak dan berbudi luhur.

Supaya mereka bisa dekat dengan Tuhan dan bisa beragama dengan baik, maka mereka harus dicerdaskan dengan kitab sucinya. Maka Guru ngaji memiliki peran untuk menjalankan hal tersebut, eksistensi guru ngaji di kampung sering luput dari perhatian publik, padahal peran mereka sangat penting dalam memberantas buta huruf Al-Quran, membimbing ibadah dan membangun generasi berakhlak Islami. 

Namun disisi yang lain guru ngaji dituntut menunaikan hak keluarga, Istri yang sudah berkeluarga berupa memberi nafkah yang tidak hanya mampu menunaikan hak biologis namun dituntuk mencukupi kebutuhan hariannya sesuai dengan kemampuannya. Apalagi sudah memiliki anak. Belum lagi kalau ada keluarga yang sakit,kecelakaan dll. Tentu beban ekonominya semakin berat.

Sementara realitas Masyarakat dalam memberi perhatian lebih bagi guru ngaji masih dibawa standar. Ada yang tidak dapat bayaran, cukup ikhlas karena Allah, ada tiap bulan hanya diberi transport Rp : 100 ribu dll.
Beda dengan profesi guru les pengetahuan umum yang nominal gajinya jelas.

Penulis sangat senang jika melihat dan mendengar guru ngaji jadi ASN,P3K,Pengusaha sehingga tidak terganggu dengan isi amplop yang tidak menentu besar kecilnya sebab tidak ada standarisasi tarif bahkan akan menjadi problem kalau masang tarif.

Tentu idealnya guru ngaji cukup ikhlas mengharap ridha Allah dan punya pekerjaan selain jadi guru ngaji sehingga ekonomi keluarga tetap stabil bahkan lebih.
Apalagi menjadi guru ngaji kaya raya.

Ibnu Hazm al-Andulisy dalam kitabnya, al-Ushul wa al-Furu’ (1/108) menyinggung tentang kaya dan miskin, mana yang lebih utama?. Menurut beliau, bahwa kaya dan miskin tidak menentukan kemuliaan. Kemuliaan orang kaya dan orang miskin ditentukan oleh amal mereka. Jika amal keduanya sama, maka kemuliaannya pun juga sama. Jika yang kaya lebih banyak beramalnya, maka ia lebih mulia dari orang miskin, begitu juga sebaliknya.

Rasâlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jaminan surga bagi orang yang mampu memelihara diri dengan tidak  meminta-minta, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits dari Tsaubân :

مَنْ يَكْفُلُ لِي أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلُ لَهُ بِالْجَنَّةِ

Barangsiapa yang bisa menjaminku untuk tidak meminta-minta suatu kebutuhan apapun kepada seseorang maka aku akan menjamin dengan surga. [HR. Abu Daud. Imam Nawawi berkata bahwa sanadnya yang sahih]

Seorang Muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, bersemangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan rajin bekerja demi memelihara masa depan anak agar mampu hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain.

Sebab pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam seperti yang telah ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian kecuali ia bertemu dengan Allâh  sementara di wajahnya tidak ada secuil dagingpun. [HR Bukhâri,  Muslim dan Nasâ’i dalam sunannya]

KYAI KUDU SUGI KALAU BISA

Ada ceramah menarik dari Gus Baha' yang tersebar diberbagai media sosial yang mempunyai nama lengkap KH Ahmad Bahauddin Nursalim menegaskan bahwa penting bagi Ustadz /kiai, orang saleh, dan sebagainya untuk memiliki harta (kaya). 

Sebab harta di tangan orang saleh akan dibawa pada kebaikan. Sebaliknya, jika harta dimiliki orang fasik akan menjadi sarana atau pengantar pada kemaksiatan.   “Kalau pakai logika fikih, harta itu fitnah. Tentu, seakan-akan harta itu masalah. Tapi kalau ini (harta) dimiliki orang dzalim, maka akan menjadi masalah besar. Sehingga orang saleh juga harus menguasai harta,” 

Kisah Imam Syafii dan Imam Malik

IMAM Malik adalah sosok yang alim tapi kaya raya . Ia terbiasa dengan pakaian mewah, surban menjuntai, kendaraan yang berganti-ganti dari jenis kuda dan unta mahal, serta asesoris duniawi lainnya.

Bahkan saat hari wafatnya, Imam Malik meninggalkan harta yang cukup banyak, seperti karpet, bantal berisi bulu, dan lainnya yang ketika itu terjual dengan harga lima ratus dinar.

Satu ketika Imam Syafi’i bertanya kepada gurunya, Imam Malik, tentang orang yang alim selain dia. Imam Malik menyebut Imam Abu Hanifah . Hanya saja, kala itu, Imam Abu Hanifah sudah meninggal, maka disebutlah murid Imam Abu Hanifah yaitu Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani . "Ilmu Imam Abu Hanifah diwariskan kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban’," ujar Imam Malik.

Imam Syafi’i dibiayai oleh Imam Malik untuk pergi ke Irak guna menemui Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban.

Begitu tiba di kediaman beliau, Imam Syafi’i kaget karena si tuan rumah juga sangat kaya, bahkan saat itu ia tengah sibuk menata uang dan emas di ruang tamunya.

Dalam hati Imam Syafi’i sempat timbul tudingan bahwa Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani adalah materialistis dan keduniawian. Melihat Imam Syafi’i seperti aneh saat menyaksikan hartanya begitu banyak, Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban langung berucap:

“Anda kagum ini, anda kaget ini. Kalau kamu menyoal orang saleh kaya, ini (harta) saya kasihkan kepada orang-orang fasik biar dipakai judi, selingkuh, maksiat, dan sebagainya,” kata Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.

Lalu Imam Syafi’i spontan menjawab: “Jangan, jangan, harta ini harus tetap di tangan orang saleh. Kalau jatuh ke tangan orang fasik, bahaya.”

KH Ahmad Bahauddin Nursalim menegaskan muslim yang saleh memang perlu kaya harta. Harta di tangan orang saleh akan dibawa pada kebaikan. Sebaliknya, jika harta dimiliki orang fasik akan menjadi sarana atau pengantar pada kemaksiatan.

"Kalau pakai logika fikih, harta itu fitnah. Oke, seakan-akan harta itu masalah. Tapi kalau ini (harta) dimiliki orang zalim, maka akan menjadi masalah besar. Sehingga orang saleh juga harus menguasai harta,” terangnya dalam satu kesempatan.

Dialog antara Imam Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ini, 

 "Orang saleh boleh bahkan harus menguasai harta. Karena jika harta dikuasai orang fasik makan akan menimbulkan mudarat dan maksiat," 

“Berarti kiai boleh kaya, dan sejak saat itu ada gerakan kiai kudu sugih (harus kaya). Cuma ada yang kesampaian, ada yang tidak (kesampaian),” 

Kebolehan bahkan keharusan orang alim kaya, juga diqiyaskan kepada kekuasaan. Maka paradigmanya sama, yakni kekuasaan harus dipegang orang-orang saleh. Sebab jika kekuasaan jatuh ke tangan orang fasik, bisa menimbulkan bahaya. “Maka banyaklah kiai menjadi bupati, dan sebagainya,”.

Sebagai penutup

Semoga keberadaan MUI bisa menjadi mediasi aktif dengan pemerintah setempat, para dermawan dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas hidup guru ngaji di kampung.

Wallahua'lam

Share | | | |