ANGGREK – Jangan anggap enteng pernikahan. Kalau Anda pikir cukup dengan mas kawin dan ijab kabul yang lancar, Anda belum paham dunia sebenarnya. Rabu pagi, 29 Juli 2025, Balai Nikah dan Manasik Haji KUA Anggrek disulap jadi ruang bedah rumah tangga. Dan yang ‘mengoperasi’-nya bukan sembarang orang.
Masni Ahama UI, S.Sos.I, Kepala KUA Anggrek yang dikenal tegas tapi membumi membuka sesi bimbingan perkawinan mandiri dengan kalimat yang membuat ruangan langsung hening:
“Menikah itu ibadah. Tapi kalau salah urus, bisa berubah jadi bencana berkepanjangan.”
Tidak ada basa-basi. Bersama penghulu senior Mohammad Suandi Dianelo, S.HI., Masni membongkar lapisan-lapisan yang selama ini sering ditutup-tutupi calon pengantin: mulai dari urusan ekonomi, komunikasi, hingga peran suami-istri yang sering disalah pahami karena budaya, bukan agama. “Banyak orang datang ke KUA bawa surat lengkap, tapi bawa bekal mental nol,” kata Suandi, disambut tawa kecil para peserta. “Makanya sekarang, sebelum kami nikahkan, kami cekdulu: sudah siap belum jadi pasangan seumur hidup?” Bimbingan Mandiri, Bukan Sekadar Formalitas Berbeda dengan pelatihan pranikah ala-ala yang kadang formalitas belaka, bimbingan kali ini terasa hidup. Ada diskusi. Ada testimoni dari pasangan muda yang nyaris gagal tapiselamat karena komunikasi. Bahkan ada sesi tanya jawabyang nyaris jadi debat. Terutama soal peran suami di dapur dan urusan pengambilan keputusan. Masni juga menyinggung soal tren perceraian yang mulai merayap masuk ke desa-desa. “Dulu, perceraian hanya kita dengar di kota. Sekarang, pasangan muda di kampung juga banyak yang cerai. Kenapa? Karena mereka lebih banyak tahu cara posting foto prewed daripada cara menyelesaikan konflik.
lapisan-lapisan yang selama ini sering ditutup-tutupi calon pengantin: mulai dari urusan ekonomi, komunikasi, hingga peran suami-istri yang sering disalah pahami karena budaya, bukan agama.
“Banyak orang datang ke KUA bawa surat lengkap, tapi bawa bekal mental nol,” kata Suandi, disambut tawa kecil para peserta. “Makanya sekarang, sebelum kami nikahkan, kami cek dulu: sudah siap belum jadi pasangan seumur hidup?”
Bimbingan Mandiri, Bukan Sekadar Formalitas
Berbeda dengan pelatihan pranikah ala-ala yang kadang formalitas belaka, bimbingan kali ini terasa hidup. Ada diskusi. Ada testimoni dari pasangan muda yang nyarisgagal tapi selamat karena komunikasi. Bahkan ada sesi tanya jawab yang nyaris jadi debat. Terutama soal peran suami di dapur dan urusan pengambilan keputusan.
Masni juga menyinggung soal tren perceraian yang mulai merayap masuk ke desa-desa. “Dulu, perceraian hanya kita dengar di kota. Sekarang, pasangan muda di kampung juga banyak yang cerai. Kenapa? Karena mereka lebih banyak tahu cara posting foto prewed daripada cara menyelesaikan konflik.
“Banyak orang datang ke KUA bawa surat lengkap, tapibawa bekal mental nol,” kata Suandi, disambut tawa kecilpara peserta. “Makanya sekarang, sebelum kami nikahkan, kami cek dulu: sudah siap belum jadi pasangan seumur hidup?”
Bimbingan Mandiri, Bukan Sekadar Formalitas
Berbeda dengan pelatihan pranikah ala-ala yang kadang formalitas belaka, bimbingan kali ini terasa hidup. Ada diskusi. Ada testimoni dari pasangan muda yang nyaris gagal tapi selamat karena komunikasi. Bahkan ada sesi tanya jawab yang nyaris jadi debat. Terutama soal peran suami di dapur dan urusan pengambilan keputusan.
Masni juga menyinggung soal tren perceraian yang mulai merayap masuk ke desa-desa. “Dulu, perceraian hanya kitadengar di kota. Sekarang, pasangan muda di kampung juga banyak yang cerai. Kenapa? Karena mereka lebih banyak tahu cara posting foto prewed daripada cara menyelesaikan konflik.”
KUA Anggrek: Kecil Tapi Bikin Mikir
KUA Anggrek mungkin kecil, tapi hari itu ia jadi pusat perenungan besar. Para calon pengantin yang datang, sebagian masih malu-malu, sebagian sudah percaya diri pulang dengan wajah berbeda. Ada yang termenung. Ada yang tersenyum lega. Mungkin karena sadar: cinta sajatidak cukup.
Bimbingan perkawinan mandiri ini bukan pertama kali dilakukan. Tapi format dan ketegasan narasumber membuatnya berbeda. Tak ada ruang untuk basa-basi. Semua yang hadir harus berpikir dua kali: “Sudah siapkah saya menikah, bukan hanya secara administratif, tapi secara mental dan spiritual?”
Karena pernikahan bukan tujuan akhir. Tapi awal dari segalanya.