Mengintegrasikan Ilmu: Refleksi Quraish Shihab
pada Rakernas Kemenag 2024
Pada Rakernas Kementerian Agama yang
diselenggarakan di Bogor, Prof. Dr. Quraish Shihab mengemukakan pandangan
mendalam tentang pentingnya integrasi pengetahuan. Beliau menekankan bahwa ilmu
pengetahuan dari berbagai sumber perlu diadopsi dengan selektif, memasukkan
elemen positif yang bermanfaat untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.
Mengacu pada pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin , Quraish Shihab menyoroti
beberapa poin penting, yaitu:
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya *Ihya
Ulumuddin* menekankan pentingnya menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama yang
esensial. Dalam mukadimah kitab tersebut, beliau menyampaikan empat poin utama
sebagai berikut:
1. Menghindari Kedekatan dengan Kekuasaan
untuk Kepentingan Pribadi :
Imam Al-Ghazali
mencermati bahwa banyak orang pada masanya berupaya mendekati pemerintah dengan
tujuan mencari kedudukan atau jabatan. Beliau menegaskan bahwa hal tersebut
tidak seharusnya dilakukan, terutama oleh para ulama, yang seharusnya fokus
pada pencarian ilmu yang murni demi kebaikan umat, bukan untuk ambisi duniawi.
2. Memilah Ilmu yang Relevan :
Menurut
Al-Ghazali, terdapat bahasan-bahasan dalam ilmu pengetahuan pada zamannya yang
sudah tidak relevan untuk dibahas kembali. Akibatnya, muncul pertentangan
antara Al-Ghazali dengan para filsuf yang lebih menekankan rasionalitas murni.
Beliau mengkritisi kajian-kajian yang tidak membawa manfaat bagi kehidupan
umat.
3. Kembali kepada Nilai-Nilai Agama yang
Murni :
Imam Al-Ghazali
berkeinginan agar masyarakat pada masanya kembali kepada era di mana ajaran
agama dijalankan dengan sepenuh hati dan tidak terdistorsi oleh hal-hal yang
tidak substansial. Ia mengajak umat untuk mempraktikkan ajaran agama secara
mendalam, tanpa terpengaruh oleh tren intelektual yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai spiritual Islam.
4. Menekankan Ilmu yang Bermanfaat bagi
Dunia dan Akhirat :
Al-Ghazali
menulis *Ihya Ulumuddin* dengan tujuan memperjelas ilmu-ilmu yang benar-benar
diperlukan untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Menurutnya, ilmu tidak hanya
bermanfaat dalam kehidupan duniawi, tetapi juga harus membawa pencerahan dan
keselamatan bagi kehidupan setelah mati.
Melalui pemikiran-pemikiran ini, Imam
Al-Ghazali menekankan pentingnya memilih ilmu yang membawa manfaat nyata dan
menolak ilmu yang hanya berfokus pada aspek duniawi tanpa memperhatikan dimensi
spiritual.
Dalam pandangan Quraish Shihab, dikotomi
antara ilmu Islam dan ilmu sekuler perlu dihilangkan. Ilmu yang bernafaskan
Islam merujuk pada Al-Quran dan Sunnah, namun penafsirannya bisa saja keliru.
Sementara, ilmu sekuler seringkali hanya mengandalkan akal dan mengesampingkan
dimensi spiritual.
Beliau juga menyoroti perbedaan fundamental
antara epistemologi Barat yang berbasis rasionalitas dan pendekatan Islam yang
menyinergikan akal dan kalbu. Di Barat, ilmu seringkali difokuskan untuk dunia
semata, sementara dalam Islam, ilmu harus memiliki dimensi akhirat.
Mengutip wahyu pertama “Iqra' bismi rabbik,”
beliau menekankan bahwa pengetahuan yang diisyaratkan Al-Quran tidak terbatas
pada satu obyek spesifik. Segala bentuk ilmu, baik yang tertulis maupun tidak,
harus diintegrasikan untuk kemaslahatan umat manusia secara universal.
Prof. Quraish Shihab mengajak para akademisi
dan praktisi pendidikan untuk mengevaluasi pendekatan ilmu yang diadopsi saat
ini. Perlu ada pengakuan bahwa pendidikan Barat memiliki keunggulan yang bisa
diadaptasi, namun dengan tetap memberi nilai ketuhanan pada setiap disiplin
ilmu yang dipelajari. Integrasi ini menjadi jalan menuju pendidikan yang lebih
holistik, selaras dengan kebutuhan zaman tanpa meninggalkan akar-akar
spiritualitas Islam.
Kesimpulannya, beliau menegaskan urgensi
integrasi ilmu, baik yang bernafaskan Islam maupun yang datang dari Barat, agar
saling melengkapi demi kemaslahatan umat dan keberlanjutan peradaban.
Penulis : (H. Kas)
Editor : (H. S.p)