Oleh: Awen Tongkonoo, S.Sos.I, M.H
(Ketua APRI Cabang Bone Bolango)
I. Pendahuluan
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, pengabaian terhadap kewajiban administratif yang berdampak langsung pada perlindungan hak-hak individu tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran ringan. Situasi ini menjadi semakin krusial ketika pengabaian dilakukan oleh pejabat negara yang menjalankan fungsi pelayanan publik. Tindakan semacam ini berpotensi menimbulkan konsekuensi serius, bahkan dapat masuk dalam ranah pidana apabila terbukti menyebabkan kerugian nyata bagi pihak lain.
Salah satu bentuk pengabaian administratif yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah dalam proses pencatatan pernikahan, khususnya terkait ketidakpatuhan terhadap ketentuan Pasal 4 huruf (f) Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024. Regulasi ini secara eksplisit mewajibkan calon pengantin melampirkan surat keterangan kesehatan dari fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) sebagai bagian dari dokumen yang harus dipenuhi untuk pencatatan nikah.
Ketentuan ini bukanlah sebatas prosedur administratif birokratis, melainkan instrumen penting yang menggabungkan fungsi perlindungan hukum, medis, dan sosial, khususnya bagi pihak perempuan dan keturunannya di masa mendatang. Dalam hal ini, penghulu sebagai pejabat pencatat nikah memegang tanggung jawab strategis untuk memastikan bahwa proses pencatatan berlangsung sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
II. Tanggung Jawab Hukum Penghulu: Administratif dan Pidana
Sebagai pejabat publik sekaligus aparatur sipil negara (ASN), penghulu tidak hanya bertindak sebagai pelaksana teknis, tetapi juga memiliki tanggung jawab dalam kerangka hukum publik. Setiap tindakan atau kelalaian yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas negara dapat menimbulkan konsekuensi hukum, baik secara administratif, etik, maupun pidana.
Misalnya, jika:
Penghulu mengetahui bahwa syarat administratif, seperti surat keterangan kesehatan, belum dipenuhi;
Namun tetap memproses permohonan pencatatan nikah;
Bahkan menandatangani akta nikah tanpa kelengkapan dokumen hukum yang sah;
Maka, tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai kelalaian hukum. Meskipun awalnya bersifat administratif, kelalaian ini dapat berkembang menjadi delik pidana, terutama jika menimbulkan kerugian nyata bagi pihak lain, seperti istri atau anak hasil pernikahan tersebut.
III. Penerapan Pasal 421 KUHP: Indikasi Penyalahgunaan Wewenang
Pasal 421 KUHP menyebutkan:
"Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan."
Jika seorang penghulu secara sadar membiarkan pernikahan dilangsungkan tanpa pemenuhan syarat kesehatan, maka perbuatannya dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang. Ini bukan lagi sekadar pelanggaran administratif, tetapi telah melampaui batas kewenangan hukum dan berpotensi membahayakan pihak lain secara langsung.
Dalam konteks ini, penghulu telah mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudence) dan tanggung jawab hukum yang melekat pada jabatannya. Maka, ia tidak hanya melanggar regulasi, tetapi juga membuka ruang bagi tuntutan hukum pidana.
IV. Konstruksi Risiko Hukum: Dari Kelalaian Menuju Tindak Pidana
Sebagai ilustrasi konkret:
Seorang calon pengantin pria diketahui mengidap penyakit menular seperti Hepatitis B;
Pernikahan tetap dilangsungkan tanpa upaya pengobatan atau persetujuan tertulis dari calon istri;
Di kemudian hari, istri tertular penyakit tersebut dan anak yang dilahirkan mengalami komplikasi kesehatan.
Dalam kondisi ini, pihak istri berpotensi:
- Mengajukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi administratif dan pelanggaran hak atas kesehatan;
- Melaporkan tindak pidana terhadap penghulu atas dugaan kelalaian atau penyalahgunaan wewenang sesuai Pasal 421 KUHP.
Dengan demikian, kelalaian administratif tidak lagi bersifat pasif, tetapi dapat bermetamorfosis menjadi pertanggungjawaban pidana apabila mengakibatkan kerugian konkret terhadap hak-hak hukum individu.
V. Peran Strategis Penghulu: Penjaga Legalitas dan Kepastian Hukum
Penghulu bukan sekadar "tukang tanda tangan" akta nikah. Ia merupakan representasi negara dalam memastikan legalitas, perlindungan hak, dan kewajiban pasangan yang membentuk keluarga baru. Mengabaikan satu syarat fundamental, khususnya terkait kesehatan reproduktif dan infeksi menular, sama halnya dengan mengabaikan mandat konstitusional negara dalam melindungi warganya.
Dengan demikian, kewajiban administratif yang diemban oleh penghulu adalah bagian integral dari misi hukum negara, dan merupakan garda terdepan dalam pencegahan konflik, pelanggaran, dan ketidakadilan di kemudian hari.
VI. Rekomendasi: Kepatuhan Prosedural sebagai Pilar Pencegahan
Untuk menjaga integritas kelembagaan dan mencegah risiko hukum, penghulu perlu menjadikan kepatuhan terhadap prosedur sebagai prinsip utama dalam bekerja. Langkah-langkah preventif yang disarankan antara lain:
- Menolak proses pencatatan nikah apabila dokumen syarat kesehatan tidak dilengkapi secara sah dan tertulis;
- Jika terdapat tekanan dari pihak luar atau ketidaksesuaian regulasi lokal, buatkan berita acara atau nota dinas sebagai bentuk dokumentasi tanggung jawab administratif;
- Konsultasikan setiap permasalahan hukum kepada atasan langsung atau bagian hukum Kementerian Agama;
- Bila faskes menolak mengeluarkan surat atau calon pengantin menolak pemeriksaan, tunda proses pencatatan secara resmi sampai seluruh syarat terpenuhi sesuai hukum.
VII. Penutup: Mencegah Lebih Baik daripada Bertanggung Jawab secara Pidana
Dalam perspektif hukum pidana, niat baik tidak serta-merta menghapuskan pertanggungjawaban, terutama jika tindakan (atau kelalaian) tersebut menimbulkan kerugian nyata bagi orang lain. Oleh karena itu, penghulu sebagai aktor strategis dalam pencatatan pernikahan harus menjadikan kepatuhan prosedural dan integritas hukum sebagai pijakan utama dalam setiap tindakan.
Pencatatan pernikahan bukan hanya soal legalitas administratif dan keagamaan, tetapi juga tentang perlindungan sosial, kesehatan, dan masa depan keluarga. Pemenuhan syarat kesehatan bukanlah formalitas, melainkan bagian dari sistem perlindungan holistik bagi pasangan, keluarga, dan generasi mendatang.