Kecukupan dalam Perspektif Filosofis dan Praktis: Refleksi dari Perkataan Abu al-‘Atahiyah
Oleh:[H. Kasbolah, Tohari]
Pendahuluan
Konsep kecukupan merupakan isu sentral dalam kehidupan manusia, yang tidak hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan material tetapi juga berdimensi spiritual dan psikologis. Abu al-‘Atahiyah, seorang penyair besar Arab klasik, melalui perkataannya:
قال أبو العتاهية:
إن كان لايغنيك ما يكفيكا ○ فكل ما في الأرض لا يغنيكا
*"Jika sesuatu yang cukup untukmu tidak bisa membuatmu merasa cukup, maka seluruh yang ada di muka bumi pun takkan membuatmu merasa cukup"*
menyampaikan pesan filosofis yang mendalam tentang esensi kepuasan hidup. Artikel ini bertujuan mengupas pesan tersebut dalam perspektif filosofis, psikologis, dan aplikatif untuk memahami bagaimana kecukupan dapat menjadi kunci kebahagiaan dan keberlanjutan hidup manusia.
Makna Filosofis dari Perkataan Abu al-‘Atahiyah
Dalam ungkapannya, Abu al-‘Atahiyah menyoroti sifat dasar manusia yang sering kali tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Filosof Islam seperti Al-Ghazali juga menegaskan bahwa ketidakpuasan ini lahir dari nafsu manusia yang tidak terbatas. Kecukupan, menurut Al-Ghazali, hanya bisa diraih ketika seseorang mampu memahami bahwa dunia materi tidak mampu memenuhi kekosongan spiritual.
Perkataan ini juga mengandung makna sufistik yang mengajak manusia untuk hidup dalam kesederhanaan (zuhud). Dalam tradisi tasawuf, kecukupan tidak diukur dari seberapa banyak yang dimiliki, tetapi dari kemampuan untuk bersyukur dan merasa cukup dengan nikmat yang telah ada.
Implikasi Psikologis: Hubungan Antara Kecukupan dan Kebahagiaan
Psikologi modern mendukung pandangan ini melalui teori kebutuhan manusia yang diajukan oleh Abraham Maslow. Maslow menyatakan bahwa manusia cenderung mengejar hierarki kebutuhan mulai dari fisiologis hingga aktualisasi diri. Namun, penelitian menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu bertambah dengan peningkatan harta atau status sosial.
Studi tentang "hedonic treadmill" menjelaskan bagaimana manusia terus mencari lebih banyak, namun tingkat kebahagiaannya tetap stagnan. Ini menunjukkan bahwa merasa cukup adalah langkah penting untuk mencapai keseimbangan emosional dan kebahagiaan sejati.
Aplikasi Praktis: Membangun Kehidupan yang Cukup
1. Prinsip Syukur: Syukur merupakan pilar utama dalam Islam yang mengajarkan manusia untuk menghargai nikmat kecil maupun besar. Dengan bersyukur, manusia dapat mengalihkan fokus dari kekurangan menuju kelebihan.
2. Konsumerisme yang Bijak: Dalam era modern, tantangan terbesar adalah budaya konsumerisme yang terus mendorong manusia untuk membeli lebih banyak. Prinsip Abu al-‘Atahiyah menjadi pengingat untuk memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan.
3. Kesederhanaan Sebagai Gaya Hidup:Gerakan minimalisme yang populer saat ini sejalan dengan ajaran Islam tentang hidup sederhana. Dengan mengurangi ketergantungan pada hal-hal material, seseorang dapat mencapai ketenangan batin dan efisiensi hidup.
Perkataan Abu al-‘Atahiyah mengandung pelajaran abadi tentang kecukupan, yang relevan dalam semua aspek kehidupan manusia. Filosofinya menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada jumlah materi yang dimiliki, melainkan pada kemampuan untuk merasa cukup dan bersyukur. Dalam konteks modern, pesan ini memberikan panduan praktis untuk melawan konsumerisme dan mengejar kehidupan yang lebih bermakna.
Dengan menjadikan kecukupan sebagai prinsip hidup, manusia dapat mencapai keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan spiritual, sehingga menciptakan kehidupan yang penuh kebahagiaan dan keberkahan.