IKHLAS ADALAH RUHNYA AMAL
Inspirasi

IKHLAS ADALAH RUHNYA AMAL

  15 Dec 2024 |   463 |   Penulis : PC APRI Lampung Timur|   Publisher : Biro Humas APRI Lampung

NGAJI TASAWWUF
IKHLAS ADALAH RUHNYA AMAL

Oleh : Tohari bin Misro

Salah satu sumber kebahagian hati, nikmatnya hidup dan semangat dalam beraktivitas dan beramal shaleh, ketika seseorang mampu mengkondisikan nilai-nilai keikhlasannya dalam setiap detik amal perbuatannya.

Ada ungkapan menarik dari Al Imam Ibn Athaillah al-Syakandari dalam Kitab al-Hikam mengungkapkan:

Al-Hikam Pasal 10: 

اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ، وَأَرْوَاحُـهَا وُجُوْدُ سِرِّ اْلإِخْلاَصِ فِيهَا

"Amal-amal itu semata bentuk-bentuk yang tampil, adapun ruh-ruh yang menghidupkannya adalah hadirnya sirr ikhlas (cahaya ikhlas) padanya"

Penjelasan : 

Syaikh Ibnu Athaillah menyebutkan dua kata yaitu amal dan ikhlas. Amal itu ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan ibarat ruh yang menjadikan jasad itu hidup.

Beliau mengatakan dalam hikmahnya bahwa kita harus ikhlas dalam beramal. Ikhlas artinya berlepas dari ikatan dan kebergantungan dengan apa pun, sehingga kita dapat menghilangkan sifat riya dan ujub.

Para ulama berkata: "Luruskan amalmu dengan ikhlas dan luruskan ikhlasmu dengan berlepas dari segala daya dan kekuatan."

Hal ini menunjukkan bahwa keikhlasan itulah yang memberikan nilai pada amal perbuatan. Keikhlasan menentukan bobot pekerjaan yang kita lakukan. Keikhlasan memperindah hati, memperbagus amal, dan  meluruskan tujuan kehidupan di jalan yang benar menuju ridha Allah l.

Amal perbuatan atau pekerjaan yang tidak didasari dengan keikhlasan, maka hal itu seperti manusia yang tidak bernyawa, disebut mayyit. Tubuh manusia yang tidak bernyawa itu dingin.

Kalau diumpamakan pada amal perbuatan atau pekerjaan yang tidak mengandung keikhlasan, itu akan terasa “dingin” (bersifat mekanis). Seperti rutinitas tanpa ruh. Terlaksana tapi tidak bernilai di sisi Allah Swt. Karena tidak ada keikhlasan.

Seperti dikatakan Syekh Abdullah Syarqawy dalam syarah al-Hikam, amal itu ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup.  Begitu pun ketika manusia meninggal. Bukan jasadnya yang bernilai (termasuk harta, jabatan, dan kekuasaan), tapi nilai-nilai kebaikannya. Manusia yang meninggalkan jejak kebaikan-kebaikan, dia akan dikenang dan diteladani. Ketika hidupnya dijalani dengan nilai keikhlasan,  ia akan tetap dikenang saat sudah tiada.

Ikhlas memang tidak mudah. Terlebih saat ini kita hidup di era digital dengan besarnya pengaruh media sosial. Kehidupan saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain. Kita melihat dan mengetahui kehidupan dan perilaku orang lain, apa yang dilakukan dan dipamerkan. Meskipun ada hal-hal positif tapi tak sedikit yang berdampak negatif. Kita menjadi cenderung iri dan tidak puas dengan kenikmatan yang Allah.

Syekh As-Syarqawi menyebutkan jenis keikhlasan manusia sesuai dengan tingkatan yang bersangkutan. Sedangkan keikhlasan sendiri adalah ketulusan dan kemurnian niat seseorang dalam beramal.

والإخلاص يختلف باختلاف الناس

Artinya, “Ikhlas berbeda-beda sesuai perbedaan tingkat spiritualitas orang,” (Syekh As-Syarqawi, Al-Minahul Qudsiyyah alal Hikam Al-Atha’iyyah, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], juz I, halaman 11).

Syekh As-Syarqawi menyebut tiga jenis keikhlasan manusia dalam beramal:

1. Keikhlasan ibad (para hamba Allah) terbatas pada keselamatan amal mereka dari penyakit riya baik yang nyata maupun tersamar; dan dari unsur nafsu mereka.

Kelompok ibad atau abidin beribadah atau beramal sesuatu semata lillahi ta’āla atau karena Allah dengan mengharapkan ganjaran pahala dan berharap selamat dari siksa neraka. Mereka menisbahkan amal itu kepada diri mereka. Mereka juga menyandarkan diri pada amal tersebut untuk meraih apa yang mereka inginkan.

2. Keikhlasan muhibbin (para pecinta Allah) berupa amal atau ibadah lillahi ta’āla atau karena Allah seraya mengagungkan dan membesarkan-Nya karena memang Allah berhak atas keagungan dan kebesaran tersebut.

Mereka beribadah bukan untuk tujuan ganjaran pahala dan keselamatan dari siksa neraka. Rabi‘ah Al-Adawiyah, salah seorang dari kelompok muhibbin, mengatakan, “Aku tidak menyembah-Mu karena takut siksa neraka atau karena mengharapkan surga-Mu sehingga aku harus menasabkan ibadah padanya?”

3. Keikhlasan arifin (ahli makrifat) dalam beribadah berupa kesaksian mereka atas keesaan Allah dalam menggerakkan dan meredakan perilaku mereka. Mereka tidak melihat kekuatan dan daya pada diri mereka. Dalam cara pandang mereka, ibadah yang mereka lakukan dapat terlaksana karena billah atau sebab kekuatan Allah, bukan karena kekuatan dan daya dalam diri mereka.

Penutup

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).

Wallahua'lam

Share | | | |