Semua jemaah haji menginginkan hajinya menjadi
haji mabrur yaitu haji yang diterima oleh Allah swt. Haji yang sempurna, haji
yang memberi berkah dalam kehidupan setelah seseorang telah melaksanakan rukun
terakhir dari rukun-rukun islam yang lima.
Tentu saja, haji mabrur tidak begitu saja
diperoleh oleh semua orang yang melaksanakan ibadah haji. Ada beberapa aspek
yang perlu diperhatikan terkait pelaksanaan haji mulai dari persiapan, pelaksanaan
dan bahkan pasca haji sehingga ibadah haji disebut mabrur. Menurut hemat saya,
minimal, haji yang mabrur itu dapat dilihat dari tiga aspek:
Pertama, haji
disebut mabrur jika haji dilaksanakan dengan biaya/uang yang halal.
Nabi SAW
dalam satu riwayat menyebutkan:
إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ حَاجًّا بنفَقَةٍ
طَيِّبَةٍ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ، فَنَادَى: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ
لَبَّيْكَ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، زَادُكَ
حَلالٌ، وَرَاحِلَتُكَ حَلالٌ، وَحَجُّكُ مَبْرُورٌ غَيْرُ مَأْزُورٍ، وَإِذَا
خَرَجَ بِالنَّفَقَةِ الْخَبِيثَةِ، فَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ، فَنَادَى:
لَبَّيْكَ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: لا لَبَّيْكَ وَلا سَعْدَيْكَ،
زَادُكَ حَرَامٌ وَنَفَقَتُكَ حَرَامٌ، وَحَجُّكَ غَيْرُ مَبْرُورٍ
Artinya:
“Apabila seseorang keluar untuk melaksanakan haji dengan nafkah yang halal dan
menapakkan kakinya di atas kendaraannya kemudian berucap: Ya Allah aku datang memenuhi
panggilan-Mu, memangillah malaikat dari langit: kedatanganmu diterima dan
amalmu diterima. Bekalmu halal, kendaraanmu halal dan hajimu mabrur (diterima)
dan bukan palsu. Dan apabila seseorang keluar untuk melaksanakan haji dengan
nafkah yang kotor/haram dan menapakkan kakinya di tanah kemudian berucap: Ya
Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu, memangillah malaikat dari langit:
kedatanganmu ditolak dan amalmu tidak diterima, bekalmu haram dan nafkahmu
haram dan hajimu tidak mabrur.” (HR. Tabrani)
Oleh
karena itu, siapapun yang akan menunaikan ibadah haji harus memastikan 100 %
dan kalau perlu 1000 %, bahwa uang, nafkah yang dipakai membiayai perjalanan
hajinya semuanya berasal dari harta yang halal.
Kedua, haji
mabrur adalah haji yang tidak ada dosa selama pelaksanaannya.
Ketika Rasulullah
SAW menyebutkan bahwa:
الحَجُّ المَبْرُورُ
لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إلاَّ الجَنَّةَ
“Haji yang mabrur itu tiada balasannya kecuali surga”,
para sahabat bertanya: Bagaimana cara memabrurkan haji? Nabi bersabda: “Memberi
makan, menjaga (memperbaiki) perkataan dan menyebarkan salam” (HR. Tabrani)
Allah
berfirman:
الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا
فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Artinya: (Musim) haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata, keji, kotor, cabul),
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al
Baqarah: 197)
Nabi
juga bersabda:
من حج
ولم يرفث ولم يفسق خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمه
Artinya: “Barang siapa yang berhaji kemudian
tidak berkata-kata keji, tidak berbuat fasik, dia akan keluar dari dosa-dosanya
seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa).” (HR. Tirmidzi).
Maka ketika seseorang melaksanakan ibadah haji
dia harus menjaga perangainya terutama lidahnya dari semua yang diharamkan oleh
Allah SWT.
Aspek ketiga, haji mabrur adalah haji
yang disempurnakan rukun, wajib, syarat, dan sunnatnya dan pada saat yang sama menyelami
hikmah yang terkandung di dalam setiap amalan haji secara lahir dan batin.
Jumhur ulama menyebutkan bahwa siapapun yang berhaji
dengan sempurna, dalam artian melaksanakan seluruh amalan haji dengan sempurna
menunaikan rukun, wajib, sunnat dan syarat-syaratnya dengan sempurna maka
hajinya adalah haji yang mabrur.
Akan tetapi, menurut Ali Zainal Abidin, haji
yang sempurna – mabrur - adalah haji yang secara lahir sempurna juga secara
hikmah, aspek batin dan hakikat sempurna pula. Tersebutlah Al Imam Asy-Syibli, seorang murid Imam
Ali Zainal ‘Abidin. Setelah selesai menunaikan ibadah ibadah haji, ia segera
menemui Ali untuk menyampaikan pengalaman hajinya. Terjadilah percakapan panjang
di antara mereka berdua. Saya kutipkan beberapa penggalan sebagai berikut:
“Wahai
Syibli, bukankah engkau telah selesai menunaikan ibadah haji?” tanya Ali. Ia
menjawab, “Benar, wahai Guru.”
Selanjutnya,
Ali bertanya, “Apakah engkau menyentuh Hajar Aswad dan shalat di Maqam
Ibrahim?”
Dijawabnya,
“Benar.”
Mendengar
jawaban itu, Ali Zainal ‘Abidin menangis, seraya berucap, “Oooh, barangsiapa
berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan ia berjabat tangan dengan Allah.
Maka ingatlah, janganlah sekali-kali engkau menghancurkan kemuliaan yang telah
diraih, serta membatalkan kehormatanmu dengan aneka dosa!”
Zainal
Abidin bertanya lagi: “Apakah engkau telah Wukuf di Arafah, mendaki Jabal
Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta memanjatkan do’a-do’a di bukit
Shakhraat?”
“Benar,
seperti itu.”
“Ketika
Wukuf di Arafah, apakah engkau menghayati kebesaran Allah, serta berniat
mendalami ilmu yang dapat mengantarkanmu kepadaNya? Apakah ketika itu engkau
merasakan kedekatan yang demikian dekat denganmu? Ketika mendaki Jabal Rahmah,
apakah engkau mendambakan Rahmat Allah bagi setiap Mukmin? Ketika berada di
Wadi Namirah, apakah engkau berketetapan hati untuk tidak meng-amar-kan yang
ma’ruf, sebelum engkau meng-amar-kannya pada dirimu sendiri? Serta tidak
melarang seseorang melakukan sesuatu sebelum engkau melarang diri sendiri?
Ketika berada di antara bukit-bukit sana, apakah engkau sadar bahwa tempat itu
akan menjadi saksi segala perbuatanmu?”
“Tidak.”
Jawab As Syibli
“Kalau
begitu, engkau tidak wukuf di Arafah, tidak mendaki Jabal Rahmah, tidak
mengenal Wadi Namirah, tidak pula berdo’a di sana!
Ali
Zainal ‘Abidin melanjutkan, “Ketika engkau sampai di Mina, apakah engkau yakin
telah sampai di tujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua hajatmu? Ketika
melempar Jumrah, apakah engkau meniatkan untuk melempar dan memerangi iblis,
musuh besarmu? Ketika mencukur rambut (tahallul), apakah engkau bertekad untuk
mencukur segala kenistaan? Ketika shalat di Masjid Khaif, apakah engkau
bertekad untuk tidak takut, kecuali kepada Allah dan tidak mengharap rahmat
kecuali dari-Nya semata? Ketika memotong hewan kurban, apakah engkau bertekad
untuk memotong urat ketamakan; serta mengikuti teladan Ibrahim yang rela
mengorbankan apapun demi Allah? Ketika kembali ke Mekkah dan melakukan Thawaf
Ifadhah, apakah engkau meniatkannya untuk berifadhah dari pusat rahmat Allah,
kembali dan berserah kepadaNya?”
Dengan
gemetar, Asy-Syibli menjawab, “Tidak, wahai Guru.”
“Sungguh,
engkau tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak bertahallul, tidak
menyembelih kurban, tidak manasik, tidak shalat di Masjid Khaif, tidak Thawaf
Ifadhah, tidak pula mendekat kepada Allah! Kembalilah, kembalilah! Sesungguhnya
engkau belum menunaikan hajimu!”
Asy-Syibli
menangis tersedu, menyesali ibadah haji yang telah dilakukannya. Sejak itu, ia
giat memperdalam ilmunya, serta berdoa semoga tahun berikutnya ia kembali
berhaji dengan ma’rifat serta keyakinan penuh.
Penggalan
kisah Ali Zainal Abidin (cicit Rasulullah SAW) dan muridnya As-Syibli tadi, menunjukkan betapa pentingnya
memperhatikan aspek penghayatan, hikmah dan pilosofi dari setiap amalan ibadah
haji untuk menggapai haji yang mabrur. Jadi bukan sekedar amalan lahirnya saja
yang diperhatikan akan tetapi penghayatan hakikatnya sangat ditekankan pula.
Semoga, semua jemaah haji yang akan berhaji
tahun ini selamat dalam perjalannya, sehat wal afiat sampai ke tanah suci serta
mampu menyelesaikan seluruh rangkaian ibada haji dengan sebaik-baiknya, mengetahui
hakikat dan makrifat amalan-amalan haji sebagaimana yang disebutkan Ali Zainal
Abidin kepada muridny As Syibli. Dan semoga pula mereka kembali kepada
keluarganya dengan selamat, sehat wal afiat dengan membawa haji yang mabrur. Dan
semoga pula, semua yang belum berangkat tahun ini, diberi rezki yang lapang, umur
panjang, dan kesehatan lahir dan batin sehingga mampu menunaikan ibadah haji di
tahun-tahun yang akan datang. Labbaika Allahumma Labbaik!!!
Penulis :Abd. Raup, Lc (Penghulu Ahli Madya Kua
Biringkanaya)