Dari Mimbar KUA Menuju Baitullah, Haji Penuh Makna Bersama Keluarga
Inspirasi

Dari Mimbar KUA Menuju Baitullah, Haji Penuh Makna Bersama Keluarga

  02 Jul 2025 |   38 |   Penulis : Biro Humas APRI Sumatera Utara|   Publisher : Biro Humas APRI Sumatera Utara

Sidikalang, (Humas). Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang menjadi dambaan setiap muslim. Namun, tak jarang perjalanan menuju Baitullah ini diwarnai dengan berbagai ujian dan penantian. Kisah spiritual ini datang Abdul Yajid Lingga, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Sidikalang, yang akhirnya dapat menunaikan ibadah haji bersama istri yang tergabung dalam rombongan kelompok terbang (kloter) 13 Embarkasi Kuala Namu Medan. Dirinya bersama 20 Jamaah Haji asal Kabupaten Dairi mencicipi manisnya pengalaman spiritual menjadi tamu Allah Swt, setelah penantian panjang, bahkan sempat terhalang badai pandemi global.


Sebagai seorang Kepala KUA, Abdul Yajid Lingga (53) tak henti-hentinya berinteraksi dengan masyarakat yang juga memiliki kerinduan mendalam untuk berhaji. Dikala datang musim haji ia membantu proses pendaftaran, bimbingan manasik, hingga pelepasan jemaah. Namun, di balik pengabdiannya, tersimpan pula harapannya sendiri untuk bisa merasakan pengalaman spiritual suci tersebut bersama keluarga. Setiap tahun, dari mimbar Kantor Urusan Agama (KUA) Sidikalang, Abdul Yajid Lingga membimbing ribuan calon jemaah haji. Ia mengulas manasik, menjawab pertanyaan seputar rukun dan wajib haji, hingga memancarkan semangat kerinduan akan Baitullah. Namun, tahun ini, giliran dirinya sendiri yang merasakan denyut kerinduan itu terbayar lunas. Bersama sang istri, beliau menjejakkan kaki di Tanah Suci, membawa pulang kisah-kisah spiritual yang melampaui batas bahasa dan menembus sanubari.

"Kami sudah mendaftar cukup lama, dan rasanya setiap tahun ada saja ujiannya. Kadang ada keperluan mendesak, kadang jadwal belum tepat," kenangnya. "Namun, kami selalu percaya bahwa Allah akan memanggil di waktu yang paling indah."

Puncak penantian itu terjadi ketika pandemi Covid-19 melanda dunia. Selama dua tahun berturut-turut, keberangkatan jemaah haji dari Indonesia dihentikan demi menjaga keselamatan bersama. Ini tentu menjadi pukulan berat, bukan hanya bagi Abdul Yajid dan keluarga, tetapi juga bagi ribuan calon jemaah haji lainnya yang sudah menanti di ambang keberangkatan.

"Saat itu rasanya campur aduk. Sedih karena harus menunda lagi, tapi kami juga memahami bahwa ini adalah bagian dari takdir Allah dan untuk kemaslahatan umat," ujarnya dengan nada ikhlas. "Kami mencoba tetap positif dan mengisi waktu dengan memperbanyak ibadah di rumah, memohon agar pandemi segera berlalu dan panggilan itu benar-benar datang."

"Dua tahun kami harus bersabar, menunda keberangkatan yang sudah di depan mata. Rasanya seperti menunggu air di padang pasir," kenangnya, suaranya tenang namun sarat makna. "Namun, kami selalu mencoba mengingat bahwa ini adalah ujian dari Allah. Setiap penundaan, kami yakini, adalah cara Allah menguji kesabaran dan keikhlasan kami." Penantian itu diisi dengan doa-doa yang lebih intens, kajian-kajian keagamaan yang diperdalam, dan penguatan tali silaturahmi dengan sesama calon jemaah. Keyakinan akan panggilan Ilahi tak pernah padam, justru semakin membara.

Setelah penantian yang penuh kesabaran, akhirnya panggilan itu tiba. Perasaan haru tak terbendung saat mereka pertama kali melihat Ka'bah. "Sulit digambarkan dengan kata-kata. Saat mata ini melihat Ka'bah untuk pertama kalinya, semua penantian, semua kesabaran, terbayar lunas. Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan," tuturnya, matanya berkaca-kaca. "Setiap langkah tawaf, setiap doa di Raudhah, terasa begitu dekat dengan Allah."

Saat akhirnya panggilan itu tiba, perasaan haru bercampur takjub meliputi mereka begitu menginjakkan kaki di Tanah Suci. Suasana di sekitar Ka'bah adalah sebuah kaleidoskop kemanusiaan. Jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia, dengan bahasa, warna kulit, dan latar belakang yang berbeda, melebur dalam satu tujuan: mengagungkan Allah.

"Hal yang paling berkesan adalah bagaimana kami bisa berkomunikasi tanpa kata-kata," tutur Abdul Yajid matanya menerawang. "Antara jemaah, ada semacam komunikasi lewat mata, lewat senyum, lewat isyarat. Sebuah pandangan dari jemaah asal Afrika, senyum dari jemaah Asia, semuanya terasa saling memahami. Ada satu frekuensi hati yang sama, yang hanya bisa dirasakan di sana”. Dirinya menambahkan, "Seolah-olah bahasa universal cinta dan keimanan mengambil alih. Kita saling membantu, saling menawarkan air, atau sekadar berbagi tempat tanpa perlu bicara. Itu menunjukkan kebesaran Islam, yang menyatukan semua perbedaan."

Pertolongan Tak Terduga di Setiap Sudut Baitullah

Perjalanan haji adalah perjalanan yang menguras fisik dan mental, namun Abdul Yajid dan keluarga merasakan pertolongan Allah hadir di setiap sudut. Dari kehilangan jejak rombongan yang kemudian bertemu kembali secara tak sengaja, hingga bantuan kecil dari orang asing yang tiba-tiba muncul saat dibutuhkan.

"Pernah satu kali, kami agak terpisah dari rombongan di tengah keramaian. Panik memang, tapi entah mengapa, ada ketenangan yang muncul. Tiba-tiba, seorang jemaah dari negara lain, yang tidak kami kenal, menunjukkan arah dengan isyarat yang sangat jelas hingga kami bisa kembali bergabung," kenangnya. "Rasanya seperti ada tangan-tangan tak terlihat yang senantiasa membimbing."


Pengalaman serupa juga dirasakan istri beliau. "Ketika haus sekali setelah tawaf, tiba-tiba ada yang menyodorkan air zam-zam tepat di hadapan kami. Itu bukan dari petugas, tapi dari sesama jemaah," cerita istri beliau, mata berbinar. "Momen-momen kecil seperti itu justru yang terasa paling ajaib dan menguatkan iman."

Bagi Abdul Yajid Lingga, pengalaman haji ini bukan sekadar menunaikan kewajiban, melainkan sebuah transformasi spiritual yang mendalam. Dari mimbar KUA tempat ia sehari-hari membimbing umat, kini ia telah kembali dengan pengalaman langsung dari Baitullah, rumah Allah. Kisah-kisah yang ia bagi kini memiliki bobot dan kedalaman yang berbeda, lahir dari sentuhan langsung dengan kesucian. "Manisnya panggilan Ilahi itu bukan hanya saat kita di sana, tapi juga saat kita kembali dan terus merasakannya dalam kehidupan sehari-hari," pungkasnya. "Ia termanifestasi dalam kesabaran menghadapi cobaan, dalam keikhlasan beramal, dan dalam kepekaan terhadap sesama. Pengalaman haji ini adalah pengingat abadi bahwa Allah senantiasa bersama kita, di mana pun kita berada, asalkan hati kita selalu tertaut pada-Nya."

Kisah ini menjadi inspirasi bagi banyak calon jemaah haji, bahwa setiap penantian akan berbuah manis, dan setiap kesulitan adalah bagian dari perjalanan spiritual yang akan membawa pada hikmah dan kedekatan yang tak terkira dengan Sang Pencipta.

Dirinya memberi dorongan semangat kepada rekan kerja termasuk kepada penulis, bahwa selama niat berhaji tetap membara, usaha dan doa tidak boleh lupa. Kisah beliau dan keluarganya menjadi inspirasi bagi banyak orang, bahwa dengan kesabaran, keikhlasan, dan keyakinan akan janji Allah, setiap impian akan menemui jalannya. "Ini adalah bukti bahwa janji Allah itu benar. Manisnya panggilan Ilahi akan selalu datang bagi hamba-Nya yang bersabar dan senantiasa berikhtiar," pungkas Abdul Yajid Lingga. (MHS)

Share | | | |