Wasthan : 23
Desember 2024
Ketika cinta berhadapan dengan agama dan aturan, ada wajah nyata
yang menatap penuh harapan kepada penghulu, hukum, dan masyarakat.
“Adakah jalan keluar yang cukup adil bagi semua?”
"Pak, apakah cinta kami salah? Haruskah kami menyerah hanya
karena kami lahir di keyakinan yang berbeda?" Suara lirih perempuan muda
di ruangan konsultasi KUA. Disertai isakan, air seperti mengalir dari hatinya
yang retak. Di sebelahnya, seorang pria yang biasa ia sebut “cinta” dengan
tatapan penuh kegelisahan menggenggam erat tangannya, seolah berusaha
meyakinkan bahwa mereka bisa melalui rintangan ini bersama.
Sebuah upaya sunyi untuk meneguhkan, meski ia sendiri tampak rapuh
di tengah dilema yang begitu berat. Ruangan kecil itu seketika dipenuhi aura
murung. Cinta yang seharusnya mempersatukan pasangan pada pernikahan indah dan
menjadi momen bahagia, kini berubah menjadi dilema tidak berujung.
Cinta yang mereka yakini tulus harus menghadapi dinding hukum,
agama dan tradisi yang seakan tidak memberikan ruang untuk kompromi. Di balik
meja kerjanya yang sederhana, Wasthan sebagai penghulu tidak hanya menjadi
saksi pergulatan mereka, tetapi juga harus menjadi penengah yang bijak dalam menyelaraskan
harapan di
tengah persoalan hati dan aturan yang tegas.
"Pak, apakah Tuhan akan marah jika kami tetap bersama?
Haruskah cinta kami berakhir hanya karena cara kami menyebut nama-Nya
berbeda?" Suara perempuan muda itu kembali terdengar lirih. Matanya merah,
menatap penghulu di depannya dengan harapan yang nyaris pupus, mencari cahaya
di tengah gelap. Hatinya berontak, ada perasaan tidak rela saat cintanya terhenti
oleh aturan yang terasa tidak bisa dilewati, begitu membatasi.
Sebagai penghulu, berada di tengah kisah seperti ini bukanlah hal
asing, tetapi setiap cerita memiliki luka dan perjuangannya sendiri. Di satu
sisi ada hukum yang jelas, di sisi lain ada hati yang meminta untuk didengar.
Dalam hukum Islam dan peraturan negara, pernikahan beda agama
adalah hal yang tidak bisa diterima. Tapi bagi mereka, cinta bukan sekadar
aturan tertulis. Cinta adalah kehidupan yang ingin mereka jalani bersama. “Kami
sudah mencoba segalanya, Pak. Tapi selalu buntu.” lanjutnya dengan nada nyaris
putus asa. Di sinilah penghulu berdiri di persimpangan yang sulit, menjadi
penjaga hukum, sekaligus mendengarkan hati yang memohon untuk tetap bersama.
Di Indonesia, pernikahan beda agama tidak sekadar isu keluarga atau
komunitas. Ini adalah persoalan hukum yang diatur secara ketat. Sebagai negara
yang menjunjung tinggi asas Pancasila, Indonesia menetapkan hukum yang
memadukan nilai agama dan konstitusi dalam pernikahan.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan dengan tegas bahwa: "perkawinan sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya." Aturan
ini, meskipun dimaksudkan untuk menjaga harmoni, kerap menjadi dinding besar
bagi pasangan beda agama yang hendak melangsungkan pernikahan.
Bagi mereka, cinta yang seharusnya menyatukan kini diuji oleh
peraturan yang tidak memberi ruang kompromi. Dalam perspektif Islam, ketentuan
fikih juga melarang pernikahan beda agama dengan dasar keimanan. Dilema ini
memunculkan polemik yang terus menggema: antara menghormati hukum dan
mendengarkan suara hati. Meski demikian, aturan tersebut kerap kali menjadi
bahan diskusi panjang, baik di ruang publik maupun di meja konsultasi Kantor
Urusan Agama.
“Ketika cinta berhadapan dengan agama dan aturan, ada wajah-wajah
nyata yang menatap penuh harapan kepada penghulu, hukum, dan masyarakat.
Adakah jalan keluar yang cukup adil bagi semua?”
Di Kabupaten Lampung Timur, adakalanya cinta juga diuji dan dipertaruhkan antara batasan agama dan
aturan negara. Menghadapi larangan yang datang dari ranah agama, juga dari
hukum negara, tidak sedikit pasangan calon pengantin yang akhirnya mengambil
langkah berat, “berpindah agama demi bisa mengucap janji suci di depan penghulu”.
Data di KUA Kecamatan Mataram Baru menunjukkan bahwa sejumlah
pasangan calon pengantin memilih berpindah agama demi melegalkan pernikahan
mereka. Bukan karena keyakinan hati, melainkan karena sistem aturan yang tidak
memberi ruang bagi pernikahan beda agama. “Kami hanya ingin menikah dan bertahan
untuk tetap hidup bersama,” ujar salah satu calon mempelai yang akhirnya
memeluk Islam agar pernikahannya bisa dilangsungkan. Ini menggambarkan
perjuangan yang tidak semua orang bisa pahami.
Fenomena ini menciptakan dinamika sosial yang unik di masyarakat, menjadi
cerminan bagaimana cinta, meskipun kuat, sering kali harus tunduk pada Agama dan
hukum. Bagi pasangan yang memilih berpindah agama, keputusan tersebut adalah
kompromi terakhir, meski di baliknya ada tekanan sosial, batin, dan keluarga.
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Mataram Baru Drs. H. Azkur menjadi
saksi dari kisah cinta yang terjalin di tengah aturan tegas ini. Beliu menyebut
bahwa fenomena perpindahan agama ini sebagai salah satu dilema tersendiri,
yaitu antara menjalankan aturan hukum dengan ketat, dan menyaksikan perjuangan
cinta yang berujung pada keputusan berat. “Bagi sebagian orang, berpindah agama
mungkin terlihat sederhana, tetapi bagi pasangan-pasangan ini, itu adalah
pilihan yang mengubah jalan hidup mereka selamanya. KUA Mataram Baru menjadi
cermin dilema cinta dan keyakinan ini. Realitas yang ada harus tetap dilihat
sisi humanisnya.” Ungkapnya.
Pernikahan bagi calon pengantin beda agama memang
sering kali menjadi perjalanan yang penuh liku. Di Kecamatan Mataram Baru, khususnya
di Desa Mandalasari, terdapat fenomena menarik terkait hal ini. Hj. Mashudah,
S.Pd, S.H., Penyuluh Agama Islam KUA Kecamatan Mataram Baru menyampaikan bahwa
di kawasan ini ada yang dikenal sebagai
Kampung Mualaf, tercatat sekitar 50 kepala keluarga (KK) yang memilih beragama
Islam. Dari jumlah tersebut ada 40 orang yang didapati motifasi awal mereka
memeluk Islam adalah sebagai langkah untuk memenuhi syarat pernikahan, meski
keputusan berpindah agama ini selanjutnya mereka ambil bukan hanya soal tentang
status keagamaan, tapi menyangkut perjalanan hidup penuh harapan dengan orang
yang mereka cinta.
"Meski awalnya mereka memeluk agama Islam
dengan alasan utama untuk mengikuti agama pasangan hidup mereka, Alhamdulillah
mereka tetap teguh dalam agama Islam hingga sekarang," ujar Hj. Mashudah
sambil tersenyum, sembari menceritakan seputar pembinaan para mualaf di daerah
tersebut.
Sebagai bagian dari upaya keberlanjutan
pembinaan, lanjutnya. Kantor Urusan Agama Kecamatan Mataram Baru bersama
seluruh Penyuluh Agama Islam Kabupaten Lampung Timur yang tergabung dalam IPARI
Lampung Timur telah menetapkan jadwal
rutin untuk mendampingi para mualaf di kampung mualaf tersebut. Setiap bulan,
para penyuluh agama Islam, baik fungsional maupun PPPK, mengadakan pembinaan
kepada mereka. Tidak hanya itu, kegiatan mingguan juga dilaksanakan oleh
penyuluh agama Islam non-PNS yang secara konsisten memberikan pengajaran dan
bimbingan kepada para mualaf yang baru bergabung. "Kami berkomitmen untuk
memastikan mereka tidak hanya memenuhi syarat pernikahan, tetapi juga mampu
menjalani kehidupan beragama dengan baik," kata Hj. Mashudah.
Fenomena serupa juga ditemui di Kecamatan Padang Ratu, Lampung
Tengah. Ustadz Ahmad Heryanto, S.Th.I., sebagai seorang penyuluh agama Islam sekaligus
Ketua Mualaf Center Baznas Lampung Tengah, membagikan pengalamannya tentang
mendampingi pasangan-pasangan yang memilih Islam sebagai jalan hidup demi
pernikahan. Dalam wawancara yang dilakukan, Sabtu 21 Desember 2024, Ustadz Ahmad
Heryanto menyebutkan bahwa fenomena mualaf, baik dari Indonesia maupun luar
negeri, cukup sering ditemui.
"Alhamdulillah, sering kami temukan
calon pengantin yang Log-in sebelum melangsungkan akad nikah. Salah satu
kisah yang menarik adalah tiga bulan yang lalu ada seorang perempuan asal
Prancis yang memutuskan menjadi mualaf untuk menikah dengan salah satu warga
kami di Kecamatan Padang Ratu," ungkapnya.
“Mereka datang bukan hanya untuk menikah,
tetapi juga dengan keinginan untuk mengenal dan memahami Islam lebih dalam,”
ujar Ustadz Ahmad Heryanto. Meski demikian, perjalanan ini tidak selalu
berjalan mulus. “Ada yang menjadikan Islam hanya sebagai syarat pernikahan,
sehingga setelah akad terlaksana, pembinaan menjadi tantangan besar,”
tambahnya. Untuk menjawab tantangan ini, pembinaan rutin di KUA setempat terus
diupayakan. Nasihat keagamaan mingguan dirancang agar para mualaf tidak hanya
memeluk Islam sebagai identitas, tetapi juga mampu menghayati ajarannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Sebagai bagian dari komitmennya, Ustadz Ahmad
Heryanto bersama tim penyuluh agama lainnya merancang pembinaan dalam dua
tahap: sebelum dan sesudah pernikahan. Sebelum akad, para calon mualaf diberi
pemahaman dasar tentang Islam, mulai dari rukun iman hingga kewajiban sebagai
seorang Muslim, termasuk kewajiban-kewajiban yang harus dijalani setelah
memeluk agama ini. Setelah pernikahan, pembinaan berlanjut dalam bentuk sesi
mingguan yang diselenggarakan di KUA Kecamatan Padang Ratu. "Kami berusaha
memberikan wawasan yang mendalam tentang akidah dan amaliah Islam, agar mereka
tidak hanya menjadi Muslim secara identitas, tetapi juga dalam praktik hidup
mereka," jelas Ustaz Ahmad Heryanto dengan penuh keyakinan.
Di lapangan, para mualaf yang baru menikah
kerap menghadapi tantangan besar dalam menjalani kehidupan beragama. Salah satu
kendala utama adalah ketidaktetapan domisili, di mana banyak dari mereka pindah
ke wilayah lain setelah menikah sehingga pembinaan keagamaan menjadi sulit
dilakukan. Selain itu, ada pula yang memeluk Islam semata-mata demi memenuhi
syarat pernikahan, tanpa memiliki komitmen mendalam terhadap ajaran agama.
Ustadz Ahmad Heryanto mengungkapkan bahwa meski telah dilakukan berbagai upaya,
banyak mualaf yang enggan menghadiri sesi pembinaan. “Kami sudah mengingatkan
mereka untuk datang mengikuti pembinaan, tetapi banyak yang tidak hadir,”
ujarnya.
Lebih jauh, Ustadz Ahmad Heryanto menjelaskan
bahwa kehidupan beragama para mualaf pasca pernikahan masih jauh dari harapan.
Meskipun secara formal mereka telah memeluk Islam, praktik ibadah seperti salat
lima waktu sering kali diabaikan, apalagi ibadah-ibadah lain yang lebih
mendalam. Ia menuturkan bahwa komunikasi verbal telah dilakukan untuk mendorong
mereka lebih taat, tetapi hasilnya kerap mengecewakan.
Dalam konteks keluarga sakinah seperti yang diprogramkan
oleh Kementrian Agama RI, menurutnya, para mualaf ini juga masih membutuhkan
bimbingan yang intensif, terutama dalam memperkuat hubungan spiritual mereka
dengan Allah. Namun demikian, ia mengakui bahwa dalam hubungan dengan pasangan,
mereka menunjukkan perkembangan yang lebih positif, meskipun tantangan besar
tetap ada.
Tidak hanya dalam lingkup keluarga baru, para
mualaf juga sering kali dihadapkan pada dilema yang kompleks dalam hubungan
dengan keluarga asal mereka yang masih memeluk agama sebelumnya. Banyak dari
mereka merasa terasing, bahkan tidak lagi diakui sebagai bagian dari keluarga.
“Dengan keluarga baru yang seiman, mereka bisa hidup lebih baik. Tetapi
hubungan dengan keluarga lama sering kali dipenuhi jarak,” ujar Hj. Mashudah.
Perubahan keyakinan yang mereka jalani memang sering kali memunculkan konflik
sosial yang berat, diperparah oleh tekanan dari lingkungan sekitar yang kurang
mendukung. Situasi tersebut membuat banyak mualaf harus bertahan di tengah rasa
kehilangan dan penolakan.
Namun, di balik tantangan yang berat, harapan
terus tumbuh. Para mualaf yang telah menikah dan memiliki anak mulai merasakan
penerimaan yang lebih besar dari komunitas Muslim. Bagi mereka, perubahan agama
bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban agama, tetapi juga langkah besar menuju
kehidupan yang lebih bermakna dengan komitmen terhadap keluarga, iman, dan masa
depan.
Hj. Mashudah menjelaskan bahwa mayoritas mualaf
ini berasal dari latar belakang agama Kristen, Hindu, dan Buddha, dan
perjalanan mereka menjadi bagian dari komunitas Muslim sering kali dimulai
karena mengikuti agama pasangan. Meski tak jarang menghadapi penolakan dari
keluarga asal, kebersamaan dengan keluarga baru memberikan kekuatan dan
penghiburan. Perjalanan ini, meskipun penuh tantangan, menjadi bukti nyata
bahwa tekad untuk memperbaiki diri dan hidup dalam keyakinan yang dipilih mampu
membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik dan penuh makna.
Di Kecamatan Mataram Baru, Kabupaten Lampung Timur, cinta dan
keyakinan sering kali bersinggungan di jalan yang tidak mudah. Data menunjukkan
sejumlah pasangan calon pengantin memilih langkah yang tidak ringan, berpindah
agama demi melangsungkan akad nikah sesuai aturan yang berlaku.
Terhitung tahun 2019 sampai dengan Desember 2024, dari data Sertifikat
Ikrar Masuk Islam yang tercatat di KUA Mataram Baru terdapat 9 orang yang mengikrarkan
diri memeluk agama Islam, dengan agama asal antara lain Hindu, Budha, Katolik
dan Kristen. Tentu saja itu belum termasuk yang melakukan proses ikrar masuk
Islam di KUA Kecamatan yang lain, mengikuti calon pasangan yang akan
dinikahinya.
Bagi sebagian pasangan, keputusan ini bukan sekadar formalitas administratif,
tetapi juga pengorbanan emosional yang mengubah identitas agama mereka yang
telah lama melekat. Fenomena ini menjadi sorotan di KUA Mataram Baru, di mana
penghulu tidak hanya melaksanakan tugas sebagai pelaksana hukum, tetapi juga
mendengar kisah-kisah yang begitu personal dan menyentuh. KUA Mataram Baru
menjadi saksi betapa cinta sering kali harus tunduk pada aturan, meski bagi
mereka yang menjalani, setiap langkah adalah bukti perjuangan mempertahankan
kebahagiaan bersama orang yang dicinta.
Sebagai penghulu, tugas yang diemban tidak hanya sebatas mencatatkan
akad nikah, tetapi juga menghadapi berbagai dinamika yang melibatkan perasaan
dan keyakinan pasangan calon pengantin. Netral di tengah dilema pasangan yang
tengah berdiri di persimpangan antara hukum, keluarga, agama dan cinta. Netral
terhadap pilihan berpindah agama untuk calon yang akan melangsungkan
pernikahan, penghulu harus menjalankan tugas dengan penuh kehati-hatian. Memastikan
agar setiap langkah tetap sesuai dengan aturan hukum, tetapi juga harus melihat
sisi kemanusiaan mereka.
Sering kali, para penghulu dihadapkan pada
situasi yang kompleks, di mana logika hukum harus berpadu dengan sentuhan hati.
Menjaga keseimbangan antara menjalankan hukum negara dan agama dengan melayani
pasangan yang tengah berjuang dengan keputusan besar dalam hidup mereka. Di
balik setiap akad yang diucapkan, tersimpan kisah perjuangan. Bukan hanya soal
cinta yang diuji oleh perbedaan keyakinan, tetapi juga tentang keberanian untuk
menghadapi dunia yang sering kali tidak memberikan pilihan yang mudah. Di
sinilah, KUA Mataram Baru menjadi lentera harapan, tempat cinta dan keyakinan
menemukan jalan untuk saling menguatkan. (Wasthan)